Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso, tidak sepakat dengan adanya usulan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengganti satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Perppu yang diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim tersebut digunakan untuk menggantikan Pasal 383 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu terkait ketentuan soal waktu penghitungan suara di TPS. Jika pasal tersebut tidak diubah, maka akan semakin banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total ada 894 petugas yang meninggal dan 5.175 petugas mengalami sakit pada Pemilu 2019.
Beban kerja pada Pemilu 2019 cukup besar sehingga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak petugas sakit atau meninggal dunia.
Menurut Santoso, dengan banyaknya korban petugas KPPS di Pemilu 2019, maka yang paling baik adalah UU Pemilu itu di revisi agar korban tidak berjatuhan lagi pada Pemilu 2024. Begitu juga, lanjut dia, apabila penghitungan suara di mundurkan maka itu namanya bukan Pemilu yang bebas, langsung dan rahasia.
“Jadi Pemerintah dan partai politik (parpol) koalisi tidak boleh egois untuk memenangkan Pemilu 2024, namun mengorbankan rakyat yang jadi petugas KPPS,” kata Santoso dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/2/2021).
Sekedar informasi, Revisi UU Pemilu yang diusulkan Komisi II DPR menjadi polemik di DPR agar masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.
Hal yang menjadi polemik yakni dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 Ayat 2 dan 3 dimuat ketentuan bahwa Pilkada serentak dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Kemudian, Pasal 734 menyebutkan bahwa Pilkada serentak akan dilangsungkan pada tahun 2027 dan selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang dimuat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada Pasal 201 Ayat 8 disebutkan bahwa Pilkada serentak telah ditetapkan digelar pada November 2024. Pelaksanaan Pilkada ini akan berdekatan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada April 2024.
Awalnya, seluruh fraksi di Komisi II DPR dan Baleg DPR sepakat agar Revisi UU Pemilu masuk prolegnas prioritas 2021. Namun hingga rapat paripurna DPR penutupan masa persidangan III tahun sidang 2020-2021, hanya fraksi partai oposisi yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang sepakat.
Sementara, fraksi partai koalisi pemerintah yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB dan PPP menolak Revisi UU Pemilu. Akibatnya, DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) prolegnas prioritas 2021.
Lebih lanjut anggota komisi hukum (Komisi III) DPR ini menjabarkan urgensinya UU Pemilu direvisi. Pertama, tidak mengulang lagi jatuhnya korban akibat Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) digabung.
Kedua, Pilkada serentak dilakukan pada 2022 dan 2023 sebagai bagian dari pergerakan stimulus serta ekonomi di daerah yang stagnan akibat pandemi Covid-19.
“Ketiga, Pilkada 2020 sudah membuktikan tidak ada cluster penderita Covid-19 yang baru,” paparnya.
Terkait kelanjutan pembahasan Revisi UU Pemilu, Santoso mengatakan RUU tersebut sudah diserahkan pembahasan oleh Komisi II DPR ke Baleg.
“Tinggal Baleg yang akan menentukan dilanjut atau tidak. Sedangkan Prolegnas beulm disahkan. Kita tunggu saja kelanjutannya,” kata legislator asal DKI Jakarta ini.
Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta ini menandaskan bahwa sikap partainya jelas memperjuangkan RUU Pemilu dibahas masuk dalam prolegnas prioritas 2021.
“Karena itu diawali oleh Kemendagri agar UU Pemilu di revisi untuk memperbaiki kekurangan yang ada,” katanya. (Bie)