Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Syaiful Bahri Anshori, mempertanyakan keinginan Presiden Jokowi merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE). Bahkan ada pihak yang meminta agar Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Pasalnya, kata dia, UU ITE baru selesai direvisi atau diundangkan oleh Pemerintah dan DPR pada 2016. Ketika itu revisi UU ITE di inisiasi oleh Pemerintah.
“UU ITE itu kan belum lama diundangkan, kok tiba-tiba minta direvisi? bahkan diperppukan. Kalau ada yang kurang, mestinya harus di cantumkan di pasal mana, bab apa? Harus jelas. Jangan karena ada satu orang merasa terusik rasa keadilannya kemudian UU-nya minta direvisi/ minta di buatkan Perppu, bisa gawat,” kata Syaiful Bahri Anshori dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/2/2021).
Sebelumnya, Presiden Jokowi pada Senin (15/2/2021) di Istana Negara, berpesan agar implementasi UU ITE menjunjung tinggi prinsip keadilan. Jika hal itu tak dapat dipenuhi, ia akan meminta DPR untuk merevisi UU tersebut. Presiden juga meminta agar DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE.
Pasal karet yang dimaksud diantaranya Pasal 27 ayat 1 soal kesusilaan, Pasal 27 ayat 3 soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat 2 soal ujaran kebencian dan Pasal 36 ayat 3 soal kerugian orang lain.
Lebih lanjut Syaiful Bahri mengungkapkan pasal-pasal karet tersebut juga sudah pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya pun oleh MK dinyatakan tidak bertentangan dengan konstitusi.
“UU ini pernah di bawa ke MK dan sudah dianggap tidak masalah. Kok tiba-tiba ada seorang yang merasa terusik rasa keadilannya minta direvisi? Ada yang minta dibuatkan Perppu yang menurut saya usulan itu kurang pas,” tegasnya.
Menurut dia, belum semua masyarakat dan aparat penegak hukum memahami substansi yang terkandung dalam UU ITE. Sehingga, seharusnya pemerintah mensosialisasikan terlebih dahulu agar tidak ada kesan terburu-buru dalam menghadapi proses atau hasil keputusan di pengadilan.
“Nanti kalau misal jadi di revisi atau keluar Perppu, ada yang merasa terganggu rasa keadilannya minta di revisi atau setelah keluar Perppu kemudian ada yang timbul masalah yang sama, kemudian minta revisi lagi. Kalau begini ya gawat doong!” ujarnya.
Sebab itu, legislator asal Jawa Timur ini lebih sepakat UU ITE hasil revisi pada 2016 ini di implementasikan terlebih dahulu.
“Lebih baik kita tunggu saja sampai UU ini diperlakukan dengan baik, sehingga membuat suasana tenang, tidak grudak gruduk karena ada satu dua orang yang merasa keadilannya terusik dengan UU ini. Padahal rasa keadilan terusik belum tentu karena UU ini, tapi bisa juga karena faktor lain,” pungkasnya. (Bie)