Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Amin Ak, menilai, investasi Kereta Cepat Jakarta – Bandung (KCJB) sulit untuk bisa balik modal dalam 100 tahun ke depan.
Menurut Amin, pada akhirnya, proyek KCJB akan terus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Sejak awal PKS menolak Pembangunan KCJB karena memang secara hitung-hitungan bisnis tidak layak dan ujung-ujungnya akan membebani rakyat,” tegas Amin dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/10/2023).
Pada Juli 2022 misalnya, kata Amin, saat pemerintah berencana memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk proyek KCJB, Fraksi PKS dengan tegas menolak. Pada Agustus 2022, sikap penolakan Fraksi PKS terhadap penggunaan APBN untuk KCJB kembali kami sampaikan secara tegas.
Pada saat itu, kami sampaikan secara hitung-hitungan bisnis, dengan biaya dari APBN, utang ke China Development Bank (CBD) dan beban bunganya sebesar 3,4% per tahun ditambah beban operasional yang cukup tinggi, sulit biaya investasi KCJB bisa kembali (balik modal) dalam waktu 100 tahun.
Seperti kita ketahui, awalnya proyek KCJB dihitung menelan biaya sebesar US$ 6,07 miliar. Indonesia mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CBD) untuk proyek tersebut sekitar 75% atau sekitar US$4,5525 miliar. Namun, dalam perjalanannya biaya proyek tersebut membengkak (cost overrun) sebesar US$ 1,2 miliar.
Beban cost overrun itu dibagi dua antara China dan Indonesia. Indonesia harus membayar sekitar US$ 720 juta. Dari jumlah tersebut Indonesia mendapat pinjaman dari CBD untuk membayar cost overrun sebesar US$ 550 juta dengan bunga 3,4% per tahun dan tenor 30 tahun.
Jika dijumlahkan utang Indonesia ke China adalah US $5,1025 miliar atau sekitar Rp76,54 triliun. Selain dari utang ke Cina, KCJB juga ditopang dari pinjaman ke sejumlah Bank BUMN dan dana APBN. Nilainya sekitar Rp48 triliun.
“Dengan besaran tarif berkisar Rp250.000 dan target penumpang 30.000 per hari, jika target tersebut dipenuhi maksimal, maka hitungan kami butuh waktu lebih dari 100 tahun untuk balik modal. Mengingat biaya operasionalnya sendiri cukup besar,” beber Amin.
Namun persoalannya, dengan kondisi infrastruktur pendukung seperti teknologi persinyalan yang masih harus dibenahi, belum terintegrasinya KCJB dengan moda transportasi lain, akses menuju stasiun kereta cepat yang masih jadi persoalan, itu semua membuat sulit terpenuhinya target penumpang 30.000 orang per hari.
Pada akhirnya banyak masyarakat akan lebih memilih untuk menggunakan moda transportasi lain, baik kereta regular Argo Parahyangan, Travel bus, ataupun kendaraan pribadi mengingat jarak Jakarta – Bandung yang tidak terlalu jauh.
Hal lain yang juga harus dijawab oleh pengelola KCJB adalah soal keamanan. Isu keamanan penumpang ini sangat penting agar masyarakat memilih moda ini.
Jika Pembangunan infrastruktur direncanakan dengan baik sebelumnya, semestinya pemerintah terlebih dahulu mengembangkan Transit Oriented Development (TOD) di kawasan di lokasi di mana stasiun kereta cepat akan dibangun.
Selain itu, ada kebutuhan tinggi yang seharusnya bisa dipenuhi kereta cepat sehingga menjadi pilihan penting masyarakat, misalnya kereta cepat bisa mengantarkan orang ke Bandara dengan lebih cepat dan aman.
(Bie)