Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, meminta Pemerintah jangan grasa grusu atau terburu-buru menghapus BBM jenis Pertalite dan menggantinya dengan Pertamax Green 92.
“Siapkan dulu industri pendukungnya, agar produksinya berkelanjutan dan tanpa membebani rakyat maupun APBN,” tegas Amin dalam keterangannya, Senin (11/9/2023).
Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu mengkritik kebijakan pemerintah yang seringkali tanpa perencanaan matang dan komprehensif. Ujung-ujungnya membebani keuangan negara.
Amin pun mendorong PT Pertamina menggandeng PT Perkebunan Nusantara dan Perkebunan Rakyat untuk memproduksi bioetanol. Dalam jangka Panjang, hal itu menjadi bagian penting dari strategi transisi energi dan ketahanan energi nasional.
Amin menyampaikan hal itu sebagai respon atas rencana pemerintah untuk mengganti BBM jenis Pertalite dengan Pertamax Green 92. BBM jenis baru tersebut merupakan campuran antara Pertalite dengan etanol 7 persen dengan kadar oktan (RON) 92.
Ia meprediksi, harga keekonomian Pertamax Green 92 itu antara Rp12.000 hingga Rp13.000. Artinya jika dipaksakan menghapus Pertalite dalam waktu dekat ini, maka rakyat harus membayar lebih tinggi untuk BBM.
“Kalau pun disubsidi, jelas itu akan membebani APBN. Karena besaran susbisidinya bisa jadi jauh lebih besar dari saat ini,” ujarnya.
Jika Peratamax Green 92 dijual dengan harga diatas Pertalite, maka rakyat yang akan merasakan dampaknya. Kenaikan harga BBM akan menghasilkan multiplier effect atau efek domino.
“Rakyat harus menanggung dampak berupa kenaikan harga-harga, baik biaya transportasi, harga barang kebutuhan pokok, dan biaya hidup secara keseluruhan termasuk biaya Pendidikan dan Kesehatan,” kata Amin.
Karena itu, dalam jangka pendek dan menengah, Pertamax Green 92 baru bisa dijadikan sebagai alternatif BBM yang lebih ramah lingkungan, tapi bukan menggantikan Pertalite.
Menjadikan Pertamax Green 92 sebagai pengganti Pertalite, kata Amin, jika dan hanya jika Pertamina sudah sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan bioetanol dari dalam negeri. Dari sudut pandang ekonomi energi, khususnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat menengah ke bawah, belum saatnya Pertalite dihapus.
Karena itu Amin pun mendorong Pertamina mampu memproduksi Pertamax Green 92 dengan harga semurah mungkin. Dengan demikian secara hitungan-hitungan ekonomi, Pertamax Green 92 sudah bisa menggantikan Pertalite. Caranya dengan mengandalkan bioetanol produksi dalam negeri, bukan impor.
“Saya mendorong Pertamina bekerja sama dengan PTPN atau perkebunan rakyat untuk memproduksi bioetanol baik berbasis tebu, singkong, sorgum, ataupun bahan lainnya yang bersifat sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan,” kata Amin.
Sebelum ini, lanjut Amin, Presiden Jokowi gencar mengkampanyekan penanaman Sorgum sebagai alternatif bahan pangan maupun energi terbarukan. Ini harusnya ditindaklanjuti Kementerian terkait baik Kementerian Pertanian maupun Kementerian ESDM, serta Kementerian BUMN. Apalagi sorgum mampu tumbuh baik di lahan marjinal seperti lahan kering beriklim kering.
Seharusnya mudah mengembangkan perkebunan sorgum tanpa terkendala ketersediaan lahan. Kementerian BUMN bisa menugaskan PTPN untuk menggandeng Pemerintah daerah mengembangkan sorgum. Nantinya, Pertamina menjadi off taker bioetanol yg diproduksi PTPN maupun perkebunan rakyat.
“Pengembangan industri bioetanol dalam negeri ini akan menjadi penggerak ekonomi (prime mover) ekonomi lokal maupun nasional berbasis kerakyatan,” pungkas Amin.
(Bie)