Jakarta, JurnalBabel.com – Pernyataan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, perlu diluruskan yang menyatakan pengangkatan Ketua MK Dr. Suhartoyo melalui SK No. 8 Tahun 2024 tanggal 30 Desember 2024 sah dan tidak ditemukan pelanggaran hukum.
Demikian dikatakan pakar hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, dalam keterangan persnya, Jumat (12/12/2025), yang pernah mengirimkan surat terbuka kepada Ketua MK Suhartoyo terkait keabsahan pengangkatan Ketua MK Dr. Suhartoyo yang dinilai cacat hukum dan menyebut sebagai Ketua MK ilegal.
“Pernyataan Ketua MKMK perlu diluruskan agar tidak menyesatkan publik dan terlebih hal tersebut adalah murni sikap pembangkangan terhadap amar putusan PTUN No. 604/G/2023/PTUN.JKT yang telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 16 Desember 2024,” kata Rullyandi.
Menurut Rullyandi, MKMK sebagai pihak Tergugat II Intervensi dalam perkara PTUN tersebut bersama dengan Ketua MK sebagai pihak Tergugat, adalah pihak yang kalah berperkara dan telah dihukum oleh Pihak Pengadilan TUN Jakarta dengan membayar biaya perkara sebesar Rp.369.000,-
Berdasarkan amar Putusan Pengadilan TUN dengan objek sengketa SK Pengangkatan Ketua MK Dr. Suhartoyo No. 17 Tahun 2023 tanggal 9 November 2023 yang pada akhirnya amar putusan telah membatalkan SK tersebut dan memerintahkan mencabut SK tersebut.
Ia mengatakan, sebagai pihak yang kalah dalam sengketa hukum di pengadilan tata usaha negara, sudah sepatutnya para pihak Ketua MK Suhartoyo dan MKMK yang telah dihukum membayar biaya perkara sebagai pihak yang kalah, wajib tunduk dan menghormati putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan menerima secara lapang dada dan sikap ksatria dan negarawan.
“Pernyataan Ketua MKMK lebih kepada pembelaan yang sudah tidak lagi relevan dipertimbangkan sebagai asumsi suatu pembenaran penafsiran sesat. Dan yang lebih parah adalah sangat tidak etis lembaga etik yang sudah kalah dalam peradilan justru melakukan pembelaaan dengan penafsiran sesat dan membangkang putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.
Rullyandi menjelaskan, Pengadilan TUN dengan sempurna menguji penerbitan Putusan MKMK yang telah menjatuhkan sanksi pelanggaran etik berat kepada Mantan Ketua MK Prof Anwar Usman dan menyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan PTUN tersebut pada halaman 294 – 297 dengan pengujian derivatif yang mendasarkan pada 2 putusan MK yakni Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 dan Putusan Mk No. 32/PUU-XIX/2021 dan halaman 319 yang menyatakan bahwa penerbitan putusan MKMK dinyatakan terbukti telah menyimpang/melanggar dari segi prosedur peraturan perundang – undangan dan mengabulkan permohonan penggugat Prof Anwar Usman untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai hakim konstitusi.
Selain itu, putusan pengadilan TUN dengan tegas menyatakan dalam pertimbangan hukum halaman 318 bahwa posisi Ketua MKMK Prof Jimly Asshidiqie dengan rangkap jabatan sebagai anggota DPD aktif dinilai sebagai pelanggaran etik.
“Maka atas pertimbangan hukum tersebut dengan amar putusan yang telah dibatalkan terhadap SK pengangkatan Dr. Suhartoyo sebagai Ketua MK, perlu diterbitkan dengan keputusan Pengangkatan yang benar sesuai asas umum pemerintahan yang baik,” katanya.
Rullyandi menekankan, pada bagian amar putusan PTUN tidak terdapat satu pun amar putusan yang memerintahkan untuk memperbaiki SK Pengangkatan Dr. Suhartoyo sebagai Ketua MK.
Sebab itu, kata Rullyandi, tentunya dengan amar putusan tersebut terhadap proses pengangkatan Ketua MK yang baru wajib berpedoman melalui kembali pada proses pemilihan rapat pleno Ketua MK untuk memilih Ketua MK yang baru dengan di pilih oleh para hakim – hakim MK sesuai pasal 24 huruf C ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 4 ayat 3 UU MK (tidak menunjuk dirinya sendiri sebagai Ketua MK).
“Dan Ketua MK baru yang terpilih nantinya wajib sebelum memangku jabatan mengucap sumpah sebagai Ketua MK dihadapan Mahkamah sebagaimana diperintahkan oleh pasal 21 ayat 3 UU MK, yang mana hal ini tidak dilakukan sumpah jabatan sebagai Ketua MK,” pungkasnya.
