Jakarta, JurnalBabel.com – Tugas baru menanti DPR yang belum lama ini bersama Pemerintah mengesahkan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kini DPR sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol.
RUU ini bukan usulan baru, melainkan sudah beberapa periode dibahas di DPR. Namun hingga kini belum sampai pada tahap dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU bersama Pemerintah.
Saat ini RUU yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020, diusulkan oleh 21 anggota DPR yang terdiri dari 18 anggota Fraksi PPP, 2 anggota Fraksi PKS dan 1 anggota Fraksi Gerindra.
RUU ini belum masuk tahap pembahasan. Baru tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pada Selasa (10/11/2020) di DPR, Baleg DPR mengadakan rapat dengan pendapat (RDP) untuk mendengarkan penjelasan pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol yang diwakilkan oleh Illiza Sa’aduddin Djamal, anggota Baleg DPR dari Fraksi PPP.
Illiza mengatakan spirit dan tujuan RUU ini selaras dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 UUD 1945. Yakni larangan minuman beralkohol merupakan amanah konstitusi dan agama, pasal 28H ayat 1 undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Illiza melanjutkan di dalem Al-qur’an juga menyebutkan dalam surat Al-Maidah (90-91) yang artinya “wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minumana keras, berjudi, (berkurban untuk berhala), dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
“RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol. Selain itu adanya RUU ini juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol,” kata Illiza Sa’aduddin Djamal.
Anggota Komisi X DPR ini juga mengungkapkan bahwa penelitian dunia terbaru tahun 2020 bidang minuman beralkohol membuktikan bahwa tidak ada kadar aman bagi setiap pengkonsumsi alkohol. Resiko bahaya bagi kesehatan meningkat sejalan dengan jumlah alkohol yang terus dikonsumsikan.
Begitu juga laporan WHO tentang status global tentang alkohol dan kesehatan tahun 2018 menegaskan bahwa minuman beralkohol berbahaya bagi berbagai macam masalah kesehatan bagi tubuh, masalah sosial dan kecelakaan lalulintas, juga termasuk penyebab dari 7 sebab kematian tertinggi dunia.
Selanjutnya legislator asal Aceh ini menjabarkan sejumlah poin usulan norma larangan minuman beralkohol. Diantaranya, setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau ,menjual dan mengkonsumsi larangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan yang memabukkan.
“Diantara poin usulan, RUU ini juga menjaga asas pluralitas masyarakat, larangan mengonsumsi minuman beralkohol dikecualikan bagi kepentingan terbatas seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisata, farmasi dan tempat yang diizinkan oleh peraturan UU,” ujarnya.
Menurut Illiza, saat ini minuman beralkohol belum diatur secara spesifik dalam bentuk UU. Sebab, saat ini hanya dimasukkan pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pasal yang sangat umum dan tidak disebut secara tegas oleh UU.
“Sebab itu melihat realitas yang terjadi, seharusnya pembahasan RUU minuman beralkohol dapat dilanjutkan dan disahkan demi kepentingan generasi yang akan datang,” tegasnya.
Merubah Judul
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Gerindra, Rahmat Muhajirin, mengatakan dalam RUU ini ada 7 klaster. Tiga klaster diantaranya terkait melindungi, mengatur dan melarang minuman beralkohol. Akibat adanya klaster-klaster tersebut, Rahmat berpandangan tidak tepat judul RUU ini ada kata larangan.
“Kalau ada klaster tersebut, kemudian klaster melarang, terus kemudian RUU tersebut judul larangan minuman beralkohol, kan kurang tepat. Misalnya jadi RUU Minuman Beralkohol atau sejenisnya. Mohon judulnya jangan larangan,” kata Rahmat Muhajirin saat dihubungi, Rabu (11/11/2020).
Sebelumnya dalam RDP Baleg dengan pengusul RUU ini, anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus, dari Fraksi PDIP Sturman Panjaitan dan dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo, juga mengutarakan hal yang sama dengan Rahmat Muhajirin. Pasalnya, apabila ada kata larangan di judulnya maka itu artinya seluruh minuman beralkohol itu dilarang semuanya. Tidak ada pengecualian. Sementara di Indonesia, ada adat istiadat beberapa suku yang menggunakan minuman beralkohol sebagai acara ritualnya.
Rahmat Muhajirin sepakat adanya UU yang mengatur soal minuman beralkohol dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Indonesia sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Kedua, berbahaya apabila minuman beralkohol tidak diatur. Ketiga, efeknya terhadap lingkungan atau masa depan generasi muda.
“Intinya RUU Minuman Beralkohol diajukan atau di undangkan,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Illiza mengatakan pihaknya sebagai pengusul sedang membahas masukan para anggota Baleg DPR tersebut. “Sedang kita bahas bersama dengan tim pengusul. Akan kita pertimbangkan (perubahan judul RUU-red),” kata Illiza.
Illiza juga belum mengatahui kapan pihaknya kembali rapat dengan Baleg DPR untuk menyampaikan perubahan RUU atas masukan tersebut. “Belum tahu. Menunggu jadwal dari pimpinan,” katanya.
Di Cap Melegalkan
Disatu sisi, Rahmat Muhajirin yang juga anggota komisi hukum DPR ini menilai untuk mensahkan RUU ini akan semakin mengundang perdebatan di masyarakat. Pasalnya, 80 persen penduduk Indonesia muslim dan menjadi muslim terbesar di dunia. Artinya, sebut Rahmat, apabila RUU ini disahkan menjadi UU maka negara-negara Islam lainya di dunia akan mencap bahwa Indonesia melegalkan minuman beralkohol.
“Seandainya minuman beralkohol ini kita atur, ini apakah nanti pihak-pihak tertentu apakah tidak menuduh bahwa negara yang terbesar pemeluk agama Islamnya, kiblat dari negara-negara Islam lainnya ini, khawatirnya dituduh mengakui minuman beralkohol,” ungkapnya.
Legislator asal Jawa Timur ini lebih sepakat apabila ingin melarang minuman beralkohol, maka seluruh dilarang. Tidak ada pengecualian minuman beralkohol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi ditempat tertentu. Sementara apabila tidak dilarang atau seperti saat ini diperbolehkan minuman beralkohol diperjualbelikan, kata Rahmat, lembaga terkait serta pemerintah daerah (pemda) yang mengaturnya.
“Jangan terkesan negara melindungi kepentingan sekelompok atau bertindak kontraproduktif. Hari ini toh sudah ada yang mengatur,” katanya.
“Berkaitan dengan tindak pidana yang ditimbulkan akibat minuman keras, baik para pelakunya, produsennya, penggunanya, itu juga sudah ada aturan terkait. Contoh peraturan yang dikeluarkan Dinas Perdagangan terkait izin usahanya dan sebagainya,” pungkasnya. (Bie)