Jakarta, JurnalBabel.com – Kalangan pegiat Pemilu meminta penyelenggaran Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember mendatang ditunda. Alasannya kondisi pandemi Covid-19 yang belum mereda serta berbagai persiapan Pilkada belum dilakukan secara matang oleh KPU. Termasuk dari kesediaan anggaran, dimana KPU meminta penambahan Rp2,5 – 5 triliun untuk memenuhi protokol kesehatan Covid-19.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Syamsurizal, tidak sepakat Pilkada serentak 2020 ditunda. Sebab, katanya, hal ini akan merugikan masyarakat, dimana perekonomian dan pemerintahan tidak berkembang sebagaimana mestinya.
“Akan menambah ruginya kita kalau Pilkada ditunda. Sehingga saya setuju penambahan anggaran Pilkada 2020,” kata Syamsurizal saat dihubungi, Jumat (5/6/2020).
Penambahan anggaran tersebut belum disepakati oleh Komisi II DPR. Hal itu akan dibahas pekan depan melalui rapat gabungan Komisi II bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Gugus Tugas Covid-19, KPU, Bawaslu dan DKPP.
“Penambahan anggaran belum disetujui, minggu depan baru dirapatkan. Penambahan ini dana yang digunakan dari APBN diperbantukan juga dari APBD bagi daerah yang mampu,” jelasnya.
Lebih lanjut legislator dari daerah pemilihan Riau ini memaparkan pertimbangan Pilkada Serentak 2020 tetap digelar 9 Desember mendatang ditengah pandemi Covid-19. Pertama, pandemi Covid-19 tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya. Kedua, ada 47 negara yang tetap menggelar Pemilu pada 2020 atau ditengah pandemi Covid-19.
“Di Mongolia saat kampanye, masyarakat dikumpulkan di lapangan sangat patuh mendengarkan calon dengan duduk jarak 2 meter dan menggunakan masker. Protokol Covid-19 kesehatan tetap mereka lakukan. Jadi ini yang akan kita terapkan,” katanya.
Ketiga, terjadi perlambatan ekonomi global di dunia yang sangat berpengaruh bagi Indonesia. “Itu (Pilkada digelar 9 Desember 2020-red) diharapkan dapat menggerakan ekonomi masyarakat,” harapnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Supriyanto, sependapat dengan Syamsurizal bahwa proses bernegara harus tetap berjalan sesuai mekanismenya. Yang terpenting, katanya, penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 ini digelar sesuai dengan protokol kesehatan Covid 19.
“Perlu dipahami bahwa setiap proses berbangsa dan bernegara ini pasti tidak ada yang sempurnya, termasuk pelaksanaan kontestasi Pilkada,” kata Supriyanto saat dihubungi terpisah.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Mohamad Muraz, menambahkan pihaknya lebih memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada pemerintah dan penyelenggara Pilkada untuk tetap menggelar pesta demokrasi tingkat lokal ini pada 9 Desember 2020.
“Saya sampaikan mari positif thingking. Kita beri kesempatan pemerintah dan penyelenggara Pemilu untuk bekerja,” kata Muraz.
Mantan Wali Kota Sukabumi ini juga menyebut bahwa penundaan Pilkada berakibat penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini menurutnya tidak baik dalam menjalankan pemerintahan, karena kewenangan Plt Kepala Daerah terbatas dalam mengambil kebijakan strategis.
Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak KPU memutuskan kembali untuk menunda Pilkada 2020 dengan persetujuan DPR dan Pemerintah. Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan kondisi pandemi yang belum juga mereda, serta persiapan kelanjutan pilkada ditengah pandemi yang masih jauh dari matang, hanya akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Pasalnya, salah satu kesepakatan dalam rapat tersebut adalah harus mengkonsultasikan kembali anggaran tambahan untuk pengadaan alat kesehatan bagi penyelenggara pemilu masih dengan Menteri Keuangan.
Menurut kesimpulan Perludem, kondisi ini mengherankan. Jika melacak keyakinan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk segera memulai kembali tahapan Pilkada serentak pada 15 Juni mendatang, ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi ketiga lembaga pemangku kepemiluan tersebut.
Fadli mencontohkan, bagaimana mungkin anggaran pengadaan alat protokol kesehatan dan biaya tambahan untuk penyelenggaraan pilkada sebagai konsekuensi dari penambahan TPS masih belum dapat dipastikan, sementara tahapannya akan dimulai pada 15 Juni 2020.
Hal lain yang perlu dijelaskan oleh pemerintah maupun DPR adalah mengenai usulan yang disampaikan oleh Komisi II DPR, bahwa alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu langsung diberikan dalam bentuk barang. Tujuannya adalah agar Penyelenggara Pemilu tidak perlu repot lagi memikirkan mekanisme tahapan pengadaan barang.
Keadaan ini menurut Fadli memunculkan pertanyaan apakah sudah tersedia alat pelindung diri dalam bentuk barang langsung yang akan diserahkan ke penyelenggara tersebut?’
Pertanyaan-pertanyaan ini yang penting untuk dijawab secara komprehensif oleh DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga nanti yang akan mengonfirmasi, bahwa persiapan melanjutkan tahapan Pilkada 2020 tidak bisa hanya bermodalkan semangat, tekad, dan keyakinan saja. (Bie)
Editor: Bobby