Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi II DPR, Syamsurizal, menilai ada plus minus dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pembentukan Badan Peradilan Pilkada yang semula diamanatkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, lewat putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022.
Dalam putusan itu, MK memutuskan bahwa mereka yang berhak mengadili sengketa Pilkada 2024 dan seterusnya.
Syamsurizal mengatakan pihaknya tidak yakin penyelesaian sengketa Pilkada itu ditangani lembaga peradilan yang bersifat adhoc atau sementara, serta putusannya tidak final dan mengikat. Pasalnya, hal itu dikhawatirkan menimbulkan masalah baru.
Sementara, penyelesaian sengketa Pilkada butuh ketegasan dan mempunyai keputusan final dan mengikat.
“MK kita harapkan bisa mengeluarkan solusi dari apa yang sudah dia putuskan,” kata Syamsurizal saat dihubungi jurnalbabel.com, Selasa (18/10/2022).
Lebih lanjut Syamsurizal menjelaskan penyelesaian sengketa Pilkada itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Apalagi, pada 2024 ada Pemilu serentak pada 14 Februari dan Pilkada serentak di 34 + 3 (DOB di Papua) provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota minus kabupaten/kota di Jakarta, pada 27 November.
Sementara jumlah hakim MK itu cuma ada 9, dan mempunyai waktu dalam penanganan 1 perkara selama 45 hari kerja. Maka dari itu, politisi PPP ini memberikan solusi agar badan peradilan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, diperbantukan menangani sengketa Pilkada dengan keputusan berkekuatan hukum tetap dan mengikat.
“Kuncinya jangan bersifat adhoc lah,” tegasnya.
Syamsurizal menambahkan solusi tersebut bisa diatur oleh ketetapan MK, atau bisa melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atau Peraturan Badan Pengawas Pemilu.
“Kalau itu dipandang darurat, itu bisa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu),” katanya.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, begitu pun Pasal 157 ayat (1) dan (2)–juga inkonstitusional.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada.
Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
“Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa ‘sampai dibentuknya badan peradilan khusus’ harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Enny dikutip dari situs resmi MK, Senin (3/10/2022).
“Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca ‘Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi’,” ujar Enny melanjutkan. (Bie)