Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar, Supriansa, menyambut baik Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2024 mendatang tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka atau pemilih mencoblos gambar calon anggota legislasi (caleg) di surat suara.
Hal itu menyusul hari ini MK menolak uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022, yang diajukan oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Demas Brian Wicaksono dan lima orang lainnya pada 14 November 2022.
Supriansa berpandangan, putusan MK tersebut menggambarkan bahwa seluruh rakyat akan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi wakilnya dan duduk di kursi DPR pada Pemilu 2024 yang digelar pada 14 Februari.
“Bersyukurlah bahwa pelaksanaan pemilu 2024 mendatang akan tetap dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Itu artinya memperkuat bahwa kedaulatan tertinggi tetap ditangan rakyat, karena rakyatlah yang akan menentukan pilihannya secara langsung di TPS (Tempat Pemungutan Suara),” kata Supriansa dalam konferensi pers di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Menurutnya, sistem proporsional terbuka lebih baik dibanding sistem tertutup atau coblos lambang partai.
“Kita harapkan lebih perbaikan di tahun-tahun mendatang atau periode-periode mendatang, bahwa sistem terbuka jauh lebih baik dibanding sistem proporsional tertutup, karena ini memberi kesempatan kepada rakyat memilih calonnya sendiri. Ini juga mendekatkan rakyat kepada pemilihnya,” jelasnya.
Sedangkan, tambah dia, sistem proporsional tertutup membuat rakyat tidak tahu siapa yang menjadi caleg atau wakilnya karena wewenangnya adalah partai politik.
“Maka dari itu, partai politik juga tidak ada yang bisa menjamin bahwa untuk seluruh nama-nama calon anggota dan seterusnya, apakah itu tidak dilaksanakan dengan money politics,” ujarnya.
Sebelumnya, MK telah memutuskan menolak gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar hakim MK, Anwar Usman, ketika membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Salah satu pertimbangan dikatakan hakim MK, Suhartoyo, bahwa sepanjang sejarah, konstitusi Indonesia tidak pernah mengatur soal jenis sistem pemilu yang digunakan dalam memilih anggota legislatif.
“Menimbang bahwa setelah membaca secara seksama ketentuan- ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif,” ujar Suhartoyo.
Putusan ini diambil oleh 8 hakim MK dengan satu hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion, yakni hakim Arief Hidayat.
Sidang pembacaan putusan ini dihadiri oleh 8 hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.
(Bie)