Oleh: Rizqon Halal Syah Aji (Pengajar Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta)
Ibadah Puasa yang ditunaikan pada bulan Ramadhan, mempunyai pesan transformatif. Ramadhan merupakan momentum mengasah kepekaan sosial. Ramadhan tidak hanya berkutat pada wilayah ubudiyah (transenden) semata, melainkan banyak ibadah yang menampilkan tentang nuansa kepedulian terhadap umat yang mengalami penindasan, baik dari sisi hak hidup, ekonomi maupun penindasan keadilan. Ramadhan adalah syahrul Jud (bulan pemberi) dan syahrul Muwassah (bulan memberi pertolongan).
Ramadhan yang di dalamnya ada momentum turunnya Al-Qur’an tentu perlu menjadi bekal nilai kritis bagi seorang muslim. Dijelaskan oleh Nabi saw tujuan puasa bukan hanya lapar dan dahaga, sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam puasa mereka abaikan. Nilai-nilai yang dimaksud Nabi saw dalam berpuasa adalah nilai-nilai dalam meneladani akan sifat-sifat Allah swt. Sifat-sifat orang berpuasa yang meneladani sifat-sifat Allah diantaranya menganggap setiap orang adalah sama (egaliter), karena memang semua sama, sama dihadapan Allah swt baik itu orang yang tha’at (patuh terhadap perintah Allah) maupun orang yang bergelipang dosa.
Dikutip dari M. Qurais Shihab (1996) bahwasannya Al-Hasan Al-Bashri pernah menggambarkan keadaan orang yang meneladai sifat-sifat Allah, sehingga mencapai tingkat taqwa yang sebenarnya. Adapun sifat-sifat ahli puasa yang dimaksud mempunyai sifat teguh dalam pendirian sehingga keluar sikap bijaksana. Tekun menuntut ilmu sehingga muncul sifat-sifat padi, semakin berisi semakin merunduk, semakin berkuasa semakin bijaksana. Memiliki persaan qana’ah (kepuasan) dalam menerima rizki dan masih banyak lainnya sifat-sifat yang digambarkannya.
Puasa juga akan membangkitkan kesadaran kultural. Dalam sisi dimensi kemanusiaan, Ramadhan membangun kesadaran kemanusiaan. Jelas dimensi kemanusiaan merupakan nilai dasar pedoman bagi kehidupan bangsa Indonesia. Puasa akan membangun gerakan Islam transformatif dalam kehidupan sosial. Menurut Umar (2015) seyogyanya mempunyai nilai dalam menegakkan kesadaran kultural yaitu “sholat sosial” dan zakat pembebasan”. Maksud “sholat sosial” adalah membangun kesadaran untuk bergerak bersama, berjamaah dalam berfikir progresif, sujud saling menyadari penindasan dilingkup sosial. Kesadaran tersebut bukan timbul karena karena politik dan kerja-kerja instans keduniaan. Sedangkan “zakat pembebasan” merupakan sikap sikap untuk mengeluarkan harta kita guna membangun permbedayaan ekonomi umat.
Di tengah hingar bingar tumbuhnya semangat ekonomi Islam, perlu meninjau atas harakah (gerakan) dari nilai awal yang diharapkan oleh pesan Islam itu sendiri menurut maqoshid syariah-nya. Dikutip dari Simons Syaefudin dalam In Memoriam Dr. Arief Budiman (republika.co.id 2 mei 2020), Arif Budiman menegaskan bahwa Islam yang lahir sebagai agama keadilan tentunya tidak boleh dikotori oleh virus kapitalisme. Selama ribuan tahun berkuasanya ke-khalifah-an despot Bani Umayah dan Bani Abasiyah, Islam tumbuh menjadi “agama kapitalis yang otoriter”. Hampir semua hukum fikih yang berkembang sekarang, misalnya, berbasis kapitalisme dan despotisme, warisan kekhalifahan despot tersebut.
Kritik Arif Budiman sesungguhnya sudah digariskan oleh para penggagas ekonomi Islam di Indonesia, diantaranya adalah M. Dawam Rahardja (1999). Dalam bukunya “Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Beliau memberikan eksplorasi argumentatif yang baik bagi kelangsungan hidup ekonomi Islam di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memunyai cita-cita luhur sesuai dengan pesan dasar negara yakni sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Prinsip tersebut merupakan pesan humanitarian, dimana pesannya adalah keadilan, keberadaban. Nilai tersebut jelas tidak paradoks dengan nilai Islam yang berada pada QS al-Ma’un: 1-7. Konstektualisasi dari kandungan ayat tersebut tentu sangat bernilai Pancasilais sesuai dengan harapan dari nilai-nilai bangsa.
Pandangan Islam pada dimensi ekonomi yang menyangkut humanisme memberikan dua penekanan agar pelaku ekonomi melakukan ikhtiar keadilan dalam memuliakan hidup manusia (QS. Al-Isra:70). Allah telah memberikan sumber daya alam yang melimpah, malah bukan hanya untuk manusia melain untuk sekalian makhluk-makhluk lain yang ada. Ketersedian sumberdaya tersebut oleh manusia sebagai pelaku ekonomi yang juga dipengaruhi oleh aspek sosial dan politik kerap kali malah menciptakan gap, dimana kelebihan pada satu pihak dan kekurangan pada pihak lain.
Gap berakibat pada pembentukan kelas sosial dalam masyarakat. Jika meminjam pisau analisa kelas sosial Karl Marx menyebutkan bahwa pada taraf perkembangan masyarakat selalu terdiri dari dua kelas yang antagonis. Kelas tersebut adalah kelas penindas (bourjuis) dan kelas tertindas (mustadh’afin). Bahkan pada perspektif kaum tertindas yang dikemukakan oleh Paulo Freire bukan hanya pada sektor ekonomi kaum penindas pun telah melakukan konsep maupun praktik penindasan pada sektor pendidikan.
Para guru melakukan “subversi” atas pengetahuan peserta didik sehingga tidak menstimulasi daya kritis. Paulo Freire (2016) menyebutnya dengan istilah pendidikan gaya bank. Kondisi pengklasteran dalam masyarakat pun secara sosiologi ekonomi hampir mirip dengan gaya pendidikan yang Paulo Freire sebut. Dalam ekonomi menyebutkan masyarakat paling miskin (the desitute) dan lapisan miskin (the poor), kemudian masyarakat lapisan tengah (the middle income group) dan lapisan kaya (the rich) dan kemudian terakhir adalah lapisan sangat kaya (super rich). Hal ini juga beraku pada pendidikan yang Paulo kritis sebagai pendidikan kaum tertindas.
Kondisi yang disebutkan dirasa sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan kedudukan manusia. Perbedaan income yang mencolok akan meniadakan persamaan kedudukan. Dalam peradaban awal tumbuhnya Islam, ketiadaan persamaan merupakan sebab akibat dari sistem perbudakan atau dominasi (ar-riqab) dan bersifat menindas.
Sungguhpun mempunyai perspektif kesejarahan seperti tersebut di atas, Islam juga mengajarkan kebebasan dan keterbukaan akses terhadap sumberdaya dalam merengkuh rizki. Setiap ada effort dalam kinerja bagi setiap orang memperoleh apresiasi (ganjaran/upah).
Effort dalam sebuah upaya kinerja mendapat perhatian dari al-Qur’an (QS. Al Najm: 39); “Seseorang tidak dihukum karena dosa orang lain, dan dosa seseorang tidak dipikul oleh orang lain. Seseorang tidak mendapatkan pahala kecuali apa yang diusahakannya untuk dirinya sesuai kesanggupannya.” Ayat ini memberikan stimulasi bagi setiap orang untuk mempunyai etos kerja untuk membuahkan prestasi dari hasil usaha. Secara sosial terjadi implikasi dari ayat tersebut yakni perihal kompetisi antara individu maupun antara kelompok masyarakat untuk memperoleh hasil dari effort yang mereka upayakan. Implikasinya adalah akan terjadi perbedaan pendapatan (income) dan berakibat pada berbedaan tingkat sosial karena kepemilikan.
Islam menengarahi atas kondisi perbedaan dari distribusi income seperti yang terjadi di atas. Islam sesuai yang disebut Arief Budiman yakni agama keadilan, perlu keseimbangan (equilibrium) distribusi ekonomi dalam masyarakat. Sehingga Islam menetapkan prinsip “pembersihan” pada kepemilikan harta benda (kekayaan) yakni zakat (pembersihan harta). Zakat merupakan ajaran (ibadah) yang akarnya berasal dari nilai kemanusiaan. Zakat mempunyai pemaknaan atas terapi upaya kemanusiaan yang pincang akibat distribusi ekonomi tidak merata dan berdampak kemiskinan dan dapat dipulihkan kembali. Zakat merupakan esensi dari kebebasan dan keadilan dari sisi kemanusiaan. Maknanya kebebasan adalah setiap manusia terdorong untuk membangun yang bisa menimbulkan kepincangan di masyarakat. Akan tetapi prinsip kebebasan harus diimbangi rasa keadilan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan baru.
1 comment
mantap pak