Pasca Operasi Tangkap Tangan KPK atas Bupati Kutai Timur Ismunandar dan beberapa jajarannya serta Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria Firgasih pada (2/7/2020), ada reaksi dari Bupati yang ter OTT untuk ajak rekan pasangannya bahwa ada peran wakil bupati Kasmidi Bulang juga yang diduga ikut dalam bagi bagi proyek, sontak pernyataan bupati diklarifikasi oleh wakilnya yang menyatakan bahwa diriinya tidak mengetahui tentang bagi bagi proyek dimaksud.
Perilaku antar pasangan bupati dan wakil ini terkhusus bupati ini terkesan” buang badan” karena dalam sebuah organisasi semestinya pemimpin tertinggi di lingkungan tersebutlah yang paling bertanggung jawab atas sebuah keadaan bukan malah melempar atau mengalihkan tanggung jawab pada bawahan sekalipun, walaupun diketahui dalam tindak pidana korupsi tidak bisa jalan sendiri.
Buang badan biasanya digunakan, karena menghindar atau menangkis serangan yang mengkritik atas kekurangberhasilan atau kegagalan dengan mengemukakan berbagai alasan atau tarik pihak lain bahkan bisa jadi bersandar cermin dengan membandingkan pada kekurangberhasilan orang lain untuk dijadikan alasan.
Dari kejadian OTT ini terlihat begitu ada masalah para pasangan paket bupati dan wakil bupati ini “jadi tidak klik”, saling punya nada kicauan yang berbeda apalagi diketahui ada rencana Bupati akan mencalonkan lagi pada pilkada periode berikutnya , seolah dari OTT ini mereka saling “cari celah” untuk selamat diri masing masing, biasanya sikap begini terjadi karena tidak lagi punya frekwensi yang sama, kemauan dan kebutuhannya sudah beda, bisa jadi ada perbedaan berkait visi, misi ,tujuan termasuk karena ada perbedaan yang tajam pada ” pendapatan”.
Sosok figur yang demikian jadi hambatan untuk jadi pemimpin di level yang lebih besar bila ada masalah cendrung memilih buang badan dengan bersandar atau bersembunyi pada kekurangberhasilan pihak lain apalagi bila mencari “tumbal” untuk “dikambing hitamkan”.
Semestinya pemimpin itu berani mengakui kesalahan, dan menyatakan ini tanggung jawabnya sebagai pimpinan, berani terbuka mempetakan hululisasi dan hilirisasi permasalahan selanjutnya berkata “saya yang salah” bukan melempar pada orang lain , hal ini berkaitan dengan mental pertahanan diri dan kualitas dirinya, walaupun ia yang sedang mengalami degradasi moral karena OTT dan membuat diri gagap, kegalauan yang sejenis itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melempar tanggung jawab ke pihak lain. Seperti mengatakan, si Anu saja juga ikut main dan bagi bagi proyek, ini menuniukkan kegagalan pemimpinya dalam mengendalikan roda organisasi pemerintahannya.
Sehingga jawaban buang badan dan sejenisnya ini menunjukkan kepada khalayak bahwa pejabat kita yang OTT cenderung menutupi kelemahannya, meniru kegagalan pihak lain (ikut budaya di OTT), bukan belajar dari pemimpin lain yang dengan keberhasilan dalam menjalankan roda pemerintahan, type pemimpin buang badan inilah yang saya sebut mempertahankan “kekeliruan kronis” karenanya kedepan pemimpin Indonesia harus sembuh dari type penyakit pejabat yang semodel dengan ini, yang perlu di diperhatikan, di evaluasi atau di kloning adalah menyiapkan generasi penerus yang amanah, mengefektifkan keberhasilan tata kelola pemerintahan dan semakin cinta pada bangsa, menjalankan roda pemerintahan sesuai tujuan bangsa bukan dengan mengikuti jalan dan arah kegagalan pejabat yang OTT.
Cukuplah kegagalan- kegagalan dalam OTT sebelumnya dijadikan pelajaran yang mahal untuk merubah kegagalan menjadi kondisi yang lebih baik tanpa tertular lagi dengan tata kelola gagal dengan cara buang badan.
Cukuplah buang badan yang tepat hanya ada di lapangan hijau, ketika kiper menyelamatkan gawangnya dari serangan lawan bukan buang badan ala pejabat korupsi dengan melimpahkan kesalahaan pada orang lain , alasan lain apalagi menyalahkan anak buah sendiri.
Azmi Syahputra
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)