Jakarta, JurnalBabel.com – Pakar hukum Azmi Syahputra menyatakan ada potensi pelanggaran pidana dalam perputaran uang di Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Perputaran uang yang dimaksud, yakni menggunakan uang donasi untuk dipakai berbisnis.
“Patut diduga ada perbuatan tindak pidana berlanjut dalam kasus penyalahgunaan dana ACT,” kata Azmi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/7/2022).
Menurut Azmi, tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pasal itu menyebutkan bahwa kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pelanggaran atas pasal itu diancam hukuman 5 tahun penjara.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini mengatakan aturan tersebut dengan jelas melarang pendiri atau pengurus Yayasan untuk mengambil keuntunga ndari Yayasan atau kegiatan usaha Yayasan. Maka itu, kata dia, aparat hukum perlu memeriksa aturan anggaran dasar lembaga tersebut.
“Motivasi perbuatan pelaku akan terlihat dari pintu regulasi anggaran dasarnya,” ujarnya.
Dia mengatakan aparat hukum juga perlu menelisik kasus ini melalui pendekatan tindak pidana pencucian uang. Menurut dia, TPPU bisa saja beririsan dengan tindaka pidana penggelepan, maupun pemalsuan.
Ketua Asosiasi ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini menyarankan kepolisian agar menelusuri aliran dana Aksi Cepat Tanggap untuk menemukan pihak yang harus dihukum di kasus ini.
“Penyidik harus jeli menyisir peristiwa hukumnya,” katanya.
Dugaan adanya penyelewengan dana di lembaga Aksi Cepat Tanggap awalnya diungkap oleh Majalah Tempo dalam edisi Sabtu, 2 Juli 2022. Dalam laporannya, mereka menyebutkan bahwa dana yang dihimpun dari masyarakat tersebut diantaranya digunakan untuk gaji besar dan fasilitas mewah para petingginya.
Setelah itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menduga ACT tidak hanya menghimpun dana donasi untuk disalurkan ke masyarakat. PPATK menduga uang donasi digunakan dahulu untuk keperluan bisnis.
“Jadi tidak murni menerima, menghimpun dana kemudian disalurkan, tapi kemudian dikelola dulu di dalam bisnis tertentu,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers di kantor PPATK, Jakarta, Rabu (6/6/2022).
Ivan mengatakan beberapa kegiatan bisnis yang diduga mendapatkan dana dari ACT merupakan milik pendirinya.
PPATK mendapati sejumlah yayasan lain di bawah ACT yang mengurus investasi. PPATK pun telah memblokir sejumlah rekening yang terkait dengan lembaga filantropi tersebut beserta yayasan yang terafiliasi.
(Bie)