Jakarta, JurnalBabel.com – Masih getolnya industri perbankan dalam menyalurkan pembiayaannya ke sektor tambang mendapat sorotan dari berbagai pihak. Hal ini lantaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang penerapan pembiayaan berkelanjutan oleh perbankan.
Terlebih, salah satu bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan diduga telah memberikan pinjaman ke perusahaan tambang batu bara di Sumatera Selatan dengan tanpa agunan dengan nominal hingga triliunan rupiah.
Terkait dugaan tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Achmad, mengatakan sebagai sebuah lembaga yang hidup dari kinerjanya dalam menghimpun dana publik, bank sudah seharusnya menjalankan usaha dengan mengacu pada prinsip kehati-hatian (prudent) dan juga tata laksana perbankan yang mengedepankan manajemen risiko yang baik.
Bila kemudian dalam praktiknya lalu ditemukan potensi penyalahgunaan wewenang dan kredit macet (default), menurut Suparji, dapat diselesaikan melalui aturan atau regulasi yang berlaku, baik Undang-Undang (UU) Perbankan, OJK dan juga aturan-aturan lain.
“Bahkan termasuk juga UU Tipikor, bila memang ditemukan potensi kerugian keuangan negara,” ujar Suparji, Senin (6/6/2022).
Menurut Suparji, dengan tidak adanya anggunan atau tanpa jaminan maka kinerja pembiayaan tersebut dapat berisiko gagal bayar dan memicu terjadinya kredit macet.
“Karena (dengan tidak adanya agunan) maka jaminan hanya disandarkan pada ketentuan jaminan umum, yaitu Pasal 1131 KUHPerdata, dan kedudukan bank sebagai kreditur konkuren,” tutur Suparji.
Sedangkan bila terjadi wanprestasi, maka untuk memulihkan kerugian tersebut melalui gugatan ke pengadilan dinilai Suparji tidak efektif dan efesien.
“Karena bila harta debitur harus dibagi dengan kreditur, maka lainnya harus dibagi juga secara pari pasu sesuai dengan ketentuan pasal 1132 KUHPerdata,” katanya.
Selain itu, potensi korupsi dalam dalam transaksi tersebut juga muncul, seperti adanya kemungkinan benturan kepentingan dan potensi suap menyuap atau perbuatan yang memperkaya diri sendiri dan atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.
Karenanya, keberadaan agunan penting untuk digunakan sebagai sarana untuk tambahan jaminan, disamping jaminan umum yang sudah melekat sebelumnya (Pasal 1131 KUHPerdata).
“Eksistensi jaminan atau agunan ini sebagai sarana pemenuhan manajemen risiko dari bank bila di kemudian hari terjadi ‘in order to control loan risk, bank often required collateral‘,” ungkap Suparji.
Dengan adanya jaminan kebendaan, lanjutnya, maka perbankan dapat memulihkan kerugian dari potensi gagal bayar tanpa harus melalui gugat-menggugat di pengadilan, yaitu karena memiliki hak kebendaan yang memberikan hak eksekurial melalui pelelangan benda jaminan.
“Dengan adanya jaminan kredit, maka bisnis perbankan menjadi efektif dan efesien serta menjamin kelancaran dalam perekonomian nasional,” tegas Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini. (Bie)
Sumber: idxchannel.com