Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menyebut banyak perusahaan yang mengadu tak bisa membayar tunjangan hari raya (THR) pada lebaran tahun ini akibat pandemi Covid-19. Pengaduan itu disampaikan secara lisan/tidak formal kepada pemerintah belum lama ini.
Namun, hingga saat ini belum ada data secara formal atau resmi terkait jumlah perusahaan di Indonesia yang tidak akan membayar THR kepada karyawannya.
Anggota Komisi IX DPR Ashabul Kahfi mengatakan dalam suasana seperti ini memang yang dibutuhkan saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Namun ia menilai “Nasib pekerja yang tidak dapat THR itu masih jauh lebih baik dari teman-teman mereka yang harus di PHK dan atau dirumahkan tanpa pesangon,” kata Ashabul Kahfi saat dihubungi, Minggu (3/5/2020).
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, ada 1,7 juta orang yang mengalami PHK dan dirumahkan sepanjang pandemi Covid-19 di Indonesia. Jumlah tersebut masih ditambah dengan 314.833 orang pekerja sektor informal yang juga terdampak Covid-19.
Sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha tidak memberikan THR kepada pekerjanya. Hal diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam Pasal 8 Permenaker tersebut diatur THR bagi pekerja harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
Sejumlah sanksi pun mengancam pengusaha atau perusahaan tersebut. Saksi ini diatur dalam Pasal 9 Permenaker Nomor 20 Tahun 2016. Sementara Pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis b. pembatasan kegiatan usaha.
Pada Pasal 10, teguran tertulis yang diatur dalam Pasal 9 dikenakan kepada pengusaha untuk satu kali dalam jangka waktu paling lama 3 hari kalender terhitung sejak teguran tertulis diterima.
Sementara itu Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, pengusaha yang tidak melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu sesuai dalam Pasal 10, dapat direkomendasikan untuk dikenakan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha.
Dalam Pasal 11 ayat (2) tertulis, rekomendasi didasarkan pada pertimbangan mengenai sebab-sebab tidak dilaksanakannya teguran tertulis oleh pengusaha, dan kondisi finansial perusahaan berdasarkan laporan keuangan perusahaan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Pada Pasal 11 ayat (3) tertulis, pengenaan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha berlaku sampai dengan dipenuhinya kewajiban pengusaha membayar THR Keagamaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1).
Berdasarkan Pasal 12, pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghilangkan kewajiban pengusaha atas denda keterlambatan membayar THR Keagamaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Relaksasi Pembayaran BPJS Ketenagakerjaan
Ashabul Kahfi memaparkan beberapa solusi atas masalah ini. Pertama, pengusaha bisa mengajak karyawannya bicara dari hati ke hati, sepanjang perusahaan tetap komitmen untuk mempertahankan karyawannya di tengah situasi ekonomi yang bergejolak. Kedua, pemerintah bisa meringankan beban perusahaan dengan relaksasi pembayaran BPJS Ketenagakerjaan.
Pemerintah pun sudah memutuskan untuk melonggarkan pembayaran iuran Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) atau BPJS Ketenagakerjaan untuk membantu perusahaan dari wabah pandemi Covid-19. Kelonggaran tersebut diberikan dengan memotong iuran Jamsostek sebesar 90% dari kondisi normal selama 3 bulan. Bahkan, bukan tidak mungkin pemerintah bisa memperpanjang pemotongan selama 3 bulan berikutnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini memberikan catatan pentingnya atas pemberian relaksasi ini. Yakni Kementerian Ketenagakerjaan harus mempunyai data detail seperti berapa perusahaan yang sudah angkat tangan, dan melakukan PHK/merumahkan karyawan. Lalu berapa perusahaan yang masih bisa bertahan, tapi tidak bisa bayar THR.
“Tapi Kemenaker harus betul-betul melakukan pengecekan tersebut secara verifikatif dan obyektif. Jika memang keuangan perusahaan masih sehat, Kemenaker tetap harus memastikan perusahaan menjalankan kewajibannya,” pungkas legislator dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan ini. (Bie)
Editor: Bobby