Jakarta, JurnalBabel.com – Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar DPR bersama pemerintah menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka menilai RKUHP usulan pemerintah ini masih banyak pasal-pasal kontroversi dan juga mewabahnya virus corona atau Covid-19 di tanah air harus diprioritaskan.
Ahli hukum pidana Suparji Achmad memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, pembahasan RKUHP yang merupakan RUU carry over atau kelanjutan pembahasan dari anggota DPR periode sebelumnya, harus tetap dilakukan.
Adanya wabah Covid-19 tidak bisa menjadi alasan untuk menunda pembahasan UU peninggalan kolonial Belanda ini. Apalagi RKUHP ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.
Ditambah kata Suparji pembahasan RKUHP tinggal beberapa pasal yang belum disetujui. Sehingga tidak memakan waktu yang lama serta pembahasannya bisa beriringan dengan upaya pemerintah dan DPR dalam penanganan Covid-19.
“Ya perlu, kan tinggal sedikit yang belum disetujui. Bisa sambil jalan dengan penanganan Covid-19,” kata Suparji Achmad saat dihubungi, Senin (6/4/2020).
Dalam pembahasannya nanti, Suparji meminta DPR dan Pemerintah perlu memperhatikan materi-materi atau pasal-pasal yang kontroversi di masyarakat. Selain itu pembahasan juga harus substantif.
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini memaparkan pasal-pasal yang kontroversi di masyarakat. Pertama terkait pasal hukuman mati. Dalam UU KUHP yang berlaku saat ini, hukuman mati masih yang bersifat selektif. Namun berbagai kalangan ada yang ingin menghapus pasal tersebut karena bertentangan dengan HAM dan juga tidak menimbulkan efek jera.
Suparji menilai hukuman mati masih perlu diatur dalam UU KUHP yang dimasukkan dalam pidana pokok selektif. Misalnya, terpidana diberikan kesempatan untuk perbaiki diri selama 5 tahun. Lalu apabila ada bukti-bukti baru yang dapat meringatkan hukuman, maka hukuman mati bisa berubah menjadi seumur hidup.
Kedua terkait pasal penghinaan terhadap presiden. Menurut Suparji, pasal tersebut harus tetap diatur dalam UU KUHP karena presiden merupakan simbol kepala negara yang perlu dilindungi. Namun deliknya aduan langsung dari presiden atau diwakilkan oleh Jaksa Agung. “Dengan demikian agar presiden tidak sewenang-wenang,” katanya.
Ketiga terkait pasal kejahatan terhadap kesusilaan. Suparji mengatakan pasal ini menjadi kontroversi karena dikhawatirkan memasuki ruang privat. Terutama terkait Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT), dimana semula pencabulan hanya terjadi antar lawan jenis. Sebab itu pasal ini akan ada sesuatu perlawanan dari pegiat HAM. “Maka norma LGBT harus disebutkan dalam UU KUHP,” ujarnya.
Keempat terkait pasal tindak pidana khusus. Suparji mengatakan yang paling krusial masalah tindak pidana korupsi yang tidak perlu di atur dalam KUHP karena sudah ada UU KPK. Namun Suparji menilai tindak pidana korupsi harus tetap dimasukkan dalam KUHP karena UU ini kitab yang harus ada sumbernya. Dalam artian UU KUHP ini menjadi sumber atau acuan bagi UU lainnya.
Kelima terkait pasal peralihan. Suparji berpendapat bahwa tidak mudah bagi UU lain untuk disesuaikan dengan UU KUHP. Sebab itu perlu UU khusus yang menyatakan masa peralihan. Misalnya, UU tidak berlaku lagi atau dihapusbkarena sudah diatur dalam UU KUHP baru.
Keenam terkait living law atau hukum adat. Suparji berpandangan hal ini menimbulkan permasalahan legalitas menjadi sesuatu yang tidak legal. Sebab itu perlu ada pembatasan syarat-syarat secara eksplisit tentang semangat hukum.
Ketika ditanya apakah DPR bersama Pemerintah perlu membahas RKUHP ini dari awal atau mengindahkan carry over, Suparji berpandangan hal itu tidak perlu dilakukan karena akan memakan waktu. Apabila memang perlu dilakukan pembahasan dari awal, Suparji meminta pembahasannya tidak bertele-tele.
Prioritaskan RUU Pemasyarakatan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Rahmat Muhajirin mengatakan dalam rapat kerja secara virtual Komisi III dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly pekan lalu, mengemuka usulan agar RUU Pemasyarakatan didahulukan pembahasannya dari dibandingan pembahasan RKUHP. Meskipun kedua RUU ini merupakan carry over dan masuk dalam Prolegnas prioritas 2020.
Pasalnya, tambah Rahmat, RUU Pemasyarakatan dapat mencegah terjadinya penyebaran Covid-19 di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan (Rutan).
“Kemarin ada beberapa pihak yang meminta terutama RUU Pemasyaratan, Menkumham hanya mohon sedapatnya RUU Pemasyarakatan segera dibahas. Karena ini dengan adanya rencana beliau untuk membebaskan narapidana dalam rangka pencegahan Covid-19,” kata Rahmat Muhajirin saat dihubungi terpisah.
Terkait pembahasan dilakukan dari awal atau carry over kedua RUU inisiatif pemerintah ini, anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini mengatakan keduanya bisa dilakukan. “RKUHP dan RUU Pemasyarakatan yang carry over, boleh dibahasi lagi selama anggota DPR yang minta dibahas. Boleh juga langsung dibawa ke tahap berikutnya,” ujarnya mengakhiri.
Sekedar informasi, hingga saat ini Presiden Jokowi belum mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR yang memerintahkan menteri terkait untuk membahas kedua RUU ini bersama DPR. (Bie)
Editor: Bobby