Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR, Aminurokhman, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pembentukan Badan Peradilan Pilkada yang semula diamanatkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, lewat putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022.
Dalam putusan itu, MK memutuskan bahwa mereka yang berhak mengadili sengketa Pilkada 2024 dan seterusnya.
Menurut Aminurokhman, pihaknya ingin ada terobosan hukum atau mekanisme yang lebih cepat dalam penanganan sengketa Pemilu maupun Pilkada di MK. Pasalnya, lanjut dia, agar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Apalagi tahapan Pemilu 2024 dan Pilkada serentak 2024 ini beririsan.
“Problem utamanya ada di durasi waktu. Bahkan kami prediksi problem di 2024 lebih kompleks karena berisisan keserentakan Pilkada dengan ditengah-tengah Pemilu,” kata Aminurokhman saat dihubungi jurnalbabel.com, Selasa (18/10/2022).
Durasi waktu penyelesaian sengketa Pemilu diatur dalam Pasal 157 ayat 8 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi, “MK memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan paling lama 45 hari kerja sejak diterimanya permohonan.”
Lebih lanjut anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini mengungkapkan Pemerintah berencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemilu untuk mengakomodir daerah otonomi baru (DOB) atau pemekaran provinsi baru di Papua, agar bisa ikut Pemilu 2024.
Aminurokhman menilai percepatan durasi waktu penyelesaian sengketa di MK memungkinkan dibuat terobosan hukum dalam Perppu tersebut.
“Perppu itu mungkin disitu ada celah-celah menyempurnakan, mengakomodir persoalan yang menjadi beban kita semua,” jelasnya.
Politisi Partai NasDem ini mengungkapkan, dari konsenyering Komisi II DPR dengan Pemerintah, KPU, Bawaslu dan DKPP belum lama ini, hanya membicarakan daerah pemekaran Papua dengan Perppu agar bisa ikut Pemilu 2024.
“Kalau sekarang perlu kita kaji, apakah mungkin melakukan penyesuaian pasal agar ada terobosan hukum itu tadi supaya sengketa Pemilu dan Pilkada bisa diselesaikan dengan cepat,” tegasnya.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, begitu pun Pasal 157 ayat (1) dan (2)–juga inkonstitusional.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada.
Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
“Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa ‘sampai dibentuknya badan peradilan khusus’ harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Enny dikutip dari situs resmi MK, Senin (3/10/2022).
“Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca ‘Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi’,” ujar Enny melanjutkan. (Bie)