Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR, Ashabul Kahfi, meminta pemerintah tidak menaikkan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kelas III, jika kebijakan kelas rawat inap standar (KRIS) atau kelas standar diberlakukan.
Menurut Kahfi, dengan adanya KRIS, akan ada perhitungan ulang iuran peserta mandiri. Jika kelas perawatan menjadi satu, maka iuran kelas mandiri pun menjadi satu.
“Jika sebelumnya ada tiga iuran, 150 ribu untuk kelas 1, 100 ribu kelas 2, dan klas 3 sebesar 35 ribu dengan subsidi 7 ribu dari pemerintah. Bila iuran baru nantinya berkisar 50-75 ribu, sebaiknya peserta kelas III tidak dibebani iuran tambahan, cukup ditambah subsidinya oleh negara,” kata Kahfi dikutip dari bonepos.com, Sabtu (19/3/2022).
Jika dipaksakan ikut naik, Kahfi yakin, jumlah penunggak iuran JKN mandiri akan semakin besar. Ketua PAN Sulsel ini pun meminta pemerintah meluruskan niat dalam menjalankan kebijakan kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan KRIS.
“Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda: Innamal a’malu binniyat. Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niatnya,” ujarnya.
Pemerintah harus memperjelas niat, kata Kahfi, karena ia melihat ada regulasi yang punya spirit yang bertentangan.
“Antara UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Perpres 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan ada kontradiksi tujuan,” ungkapnya.
Kahfi melanjutkan, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 19 ayat (2), ditegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan adalah menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Sementara dalam Perpres 64 Tahun 2020 Pasal 54A disebutkan tujuan KDK dan KRIS adalah untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan.
“UU SJSN niatnya adalah pada pemeliharaan kesehatan dan perlindungan, sementara Perpres bertujuan menjaga keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan,” jelas Mantan Wakil Ketua DPRD Sulsel ini.
Perbedaan tujuan tersebut, lanjut Kahfi, bisa membuat pemerintah lebih berorientasi pada penghematan, yang justru membebani para peserta JKN.
“KRIS dan KDK belum dijalankan saja, tapi sudah ada kebijakan penurunan manfaat pelayanan JKN kepada peserta, misalnya korban pembegalan, atau penganiayaan, tidak ditanggung BPJS Kesehatan, melainkan harus melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” sambungnya.
Kahfi meminta pemerintah tidak buru-buru menjalankan kebijakan ini, sebelum melakukan kajian dan riset yang mendalam, dengan melibatkan masyarakat secara lebih luas.
“Jika perlu buat survei ke masyarakat, bagaimana penerimaan mereka terhadap KBK dan KRIS ini. Selain itu, bisa membuat FGD yang lebih luas dengan pelibatan unsur-unsur masyarakat,” ujar Anggota DPR RI Dapil Sulsel 1 ini.
Kahfi juga berpesan agar Kemenkes dan BPJS Kesehatan berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada peserta JKN tanpa diskriminasi, termasuk kepada peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI).
(Bie)