Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh meminta penanganan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan harus memenuhi rasa keadilan publik. Sebab, tujuan utama penegakan hukum adalah untuk mewujudkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam masyarakat.
Menurutnya, pemenuhan rasa keadilan masyarakat hendaknya tidak lantas mengintervensi proses obyektif penegakan hukum baik secara parsial maupun secara kolektif. Namun demikian, tegasnya, bagaimanapun juga persfektif pemenuhan rasa keadilan publik tetap harus dipertimbangkan sebagai perspektif penyeimbang.
“Kasus yang menimpa Novel Baswedan sudah menjadi perhatian publik sejak awal. Untuk itu proses penanganan hukumnya harus mampu menunjukkan perhatian besar terhadap pemenuhan rasa keadilan publik”, tegas Pangeran dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/6/2020).
Penanganan kasus Novel Baswedan saat ini sudah sampai tahap pembacaan tuntutan terdakwa. Jaksa penuntut umum (JPU) perkara tersebut hanya menuntut 1 tahun pidana kepada Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. JPU menyatakan kedua terdakwa bersalah dalam kasus tersebut. Salah satu alasan JPU menuntut ringan karena terdakwa tak sengaja menyiram Novel Baswedan dengan air keras.
Tuntutan tersebut dibacakan oleh JPU Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin dihadapan ketiga hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yakni Djuytamo selaku Hakim Ketua, Agus Darwanta dan Taufan Mandala sebagai hakim anggota pada Kamis (11/6/2020).
Tuntutan ringan tersebut pun langsung menyita perhatian publik karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. Padahal terdakwa merupakan anggota polisi aktif.
Khairul Saleh melanjutkan sebuah peristiwa hukum yang menjadi perhatian publik harus dilaksanakan dengan transparan dan berdasarkan argumen-argumen yang kuat dasar tata laksana, pedoman, aturan dan hukumnya.
“Apapun putusan yang nanti dihasilkan dari proses hukum, hendaknya tergambar secara transparan betapa sungguh-sungguhnya ikhtiar penegak hukum dalam mencapai keadilan tersebut,” ujarnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) meyakini bahwa majelis Hakim dengan segala integritas, kapabilitas dan wawasan akan dapat mengambil putusan yang mencakup seluruh aspek termasuk rasa keadilan publik.
Hal ini beralasan, karena menurut Khairul, kasus Novel Baswedan mencakup aspek-aspek penting. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah korban dan terdakwa adalah sama-sama aparatur penegak hukum dari institusi besar dan terhormat di negara ini yaitu Polri dan KPK-RI. Sungguh sangat patut proses ini ditangani secara serius.
“Selayaknya secara teknis rencana penututan dilaporkan secara berjenjang hingga ke pimpinan puncak seperti Kejaksaan Agung untuk memastikan kualitas tuntutan benar-benar kuat dan bisa dipertanggungjawabkan,” urainya.
Khairul Saleh juga mengingatkan bahwa tindakan terdakwa yang merupakan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), wajib dijadikan perhatian utama. Saat proses ini berjalan saja, marwah dan kredibilitas lembaga Polri sudah sangat terganggu. Penuntutan, menurut Khairul, harus juga mempertimbangkan pembelaan terhadap kehormatan Lembaga Negara.
Legislator dari daerah pemilihan Kalimantan Selatan ini menambahkan jika hasil persidangan nanti memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku penyiraman Novel Baswedan, sebagaimana halnya pelaku penusukan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto seperti yang juga hangat dibicarakan masyarakat, maka masyarakat pasti akan memandang bahwa penindakan hukum ternyata benar tidak pandang bulu, tidak hanya tajam ke bawah tapi juga tetap tajam ke atas.
Pada akhirnya neraca kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum yang berkeadilan akan bertambah kuat. “Ini jauh lebih penting diantara diskursus yang melingkari kasus ini. Saya dukung sepenuhnya Polri untuk terus memperbaiki citranya dimata masyarakat. Termasuk menyikapi polemik kasus ini,” seru Khairul bersemangat.
Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017, setelah melaksanakan Sholat Subuh di Masjid Al Ikhsan, Kepala Gading, Jakarta Utara. Akibat peristiwa itu, kedua mata Novel mengalami luka bakar dan membuatnya harus dilarikan ke Singapura untuk menjalani perawatan di Singapore General Hospital guna memulihkan kondisinya. Namun, hasil operasi menyebutkan bahwa kondisi mata kiri Novel tidak dapat melihat sama sekali. Sementara, mata kanan Novel terlihat masih ada kabut.
Sebelum kedua pelaku ditangkap pada 26 Desember 2019 di sebuah kawasan di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, banyak proses yang dilalui. Mulai dari Komnas HAM membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Polda Metro Jaya meminta bantuan Kepolisian Australia, Polri merilis sketsa wajah pelaku sampai Polri membentukan tim gabungan. Sementara sidang perdana kasus penyerangan Novel Baswedan dilangsungkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 19 Maret 2020. (Bie)
Editor: Bobby