Jakarta, JurnalBabel.com – Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Komisi III DPR yang dipimpin oleh Pangeran Khairul Saleh, telah melakukan kunjungan kerja atau studi banding ke Portugal.
Hasil dari kunjungan ke negara tersebut adalah pengguna/pemakai narkotika tidak lagi menjadi target oleh aparat penegak hukum untuk dipenjarakan. Namun targetnya adalah direhabilitasi yang biayanya ditanggung oleh Pemerintah.
Demikian dikatakan oleh Anggota Komisi III DPR, Supriansa, dalam rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR dengan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dalam rangka mendengarkan masukan dari PKNI dalam rangka pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua RUU tentang Narkotika, Senin (19/9/2022).
Menurut Supriansa, hasil dari kunjungan kerja ke Portugal ini patut disampaikan ke Pemerintah bahwa APBN bisa dibantu dengan anggaran pendapatan daerah.
Ia menyontohkan apabila setiap kabupaten, kota, provinsi, membuat tempat rehab, lalu sekian persen dia memberikan bantuan kemudian dibantu anggaran APBN, maka tidak kewalahan semua daerah ini untuk menyelesaikan persoalan narkotika ini. Alhasil, tidak ada lagi targetnya dipenjarakan.
“Kita keliling daerah, 80 persen penghuni Lapas itu rata-rata pengguna. Apa manfaatnya kita penjarakan orang yang kecanduan itu? Malah dia tambah menyiksa. Lebih bagus ditempatkan di sebuah tempat lalu direhabilitasi diperbaiki disembuhkan. Bukan orang yang sudah jatuh dimiskinkan kemudian dicekek lehernya, diperas, tidak bisa seperti itu modelnya. Mereka manusia yang ingin berkelanjutan hidupnya,” kata Supriansa.
Politisi Partai Golkar ini juga mengomentari beberapa laporan dari PKNI. Pertama, meningkatkan pemenjaraan dan pemerasan terhadap pengguna dan keluarga.
“Seakan-akan para korban ini kita sepakat dulu bahwa pelaku ini ada 2, ada bandar ada pemakai. Pemakai ini terkesan ada pemerasan, maka ini tentu jadi perhatian,” ujarnya.
Kedua, penegakan hukum Napza sudah tidak berkeadilan, memberikan dampak buruk pada kaum yang lemah perempuan pengguna Napza.
“Yang tidak berkeadilan ini yang banyak duitnya di elus-elus, yang tidak banyak duitnya melalui proses hukum yang apa adanya,” ungkapnya.
Ketiga, dalam menjalani hukum perempuan pengguna Napza, mengalami kekerasan fisik. Menurutnya, psikis maupun seksual oleh aparat penegak hukum memanfaatkan lemahnya pengguna Napza.
“Buat bahan kita bahwa ternyata ada korban seksual. Pada sisi mananya kira-kira ada mengalami korban pada saat itu, itu nanti yang kita wanti-wanti dalam penyusunan UU ini,” tuturnya.
Keempat, pengguna Napza menjadi target tangkapan oleh penegak hukum kemudian digunakan menjadi celah transaksional oleh penegak hukum.
“Seakan-akan ujung-ujungnya duit ini. Kalau duit yang menjadi target kita, ini yang salah dalam penerapan UU,” tegasnya.
Karena tidak efektifnya UU Narkotika yang lama, anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini berfikir mereview UU.
“Di sisi mananya yang kurang, berlebihan, ini yang diperbaiki,” kata mantan wakil bupati Soppeng ini. (Bie)