Jakarta, JurnalBabel.com – Sejumlah pimpinan di Komisi Pemerintahan (Komisi II) DPR menyetujui penggunaan rekapitulasi suara elektronik (e-Rekap) untuk diterapkan dalam Pilkada 2020. Mereka memandang suksesnya penggunaan e-Rekap pada Pilkada 2020 dapat menjadi solusi untuk dipakai pada Pemilu 2024 mendatang.
Menanggapi wacana penggunaan e-Rekap, anggota Komisi II DPR Mohamad Muraz mengaku tak berbeda suara dengan para pimpinannya. Dari sekian catatan yang diberikan komisinya, Muraz mengatakan hal yang paling utama untuk diperhatikan adalah perihal regulasi.
Politikus Partai Demokrat ini mengungkapkan, e-Rekap mesti diatur dalam UU Pemilu karena penggunaannya akan merubah sistem yang mendasar dalam pemilihan umum. Jika tidak, manakala ditemukan kelemahan dalam sistem tersebut, publik bisa saja melakukan judicial review.
“Untuk Pilkada 2020, UU-nya masih mengatur rekap secara manual dan berjenjang. Kalau KPU memaksakan dan ada yang judicial review ke MA saya yakin KPU akan kalah,” kata Muraz saat dihubungi, Senin (3(/8/2020).
Sebab itu, Muraz mengatakan sistem pemilihan suara secara elektronik dalam Pemilu masih harus dilakukan uji coba untuk memastikan kredibilitasnya.
Muraz memberi sejumlah catatan terkait penggunaan e-Rekap. Pertama, ia menuturkan harus ada dasar hukum yang jelas. Kedua, peralatan yang diperlukan dalam sistem tersebut sudah lengkap dan dapat dijangkau oleh semua orang.
Ketiga, ada alat kontrol yang jelas jika ternyata terjadi human error baik disengaja maupun tidak sengaja.
Keempat, Muraz mengatakan KPU harus berupaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem berbasis IT dalam pemilu dan mempersiapkan operator pelaksananya.
Kelima, jika terjadi perselisihan antara data elektronik dengan data manual, harus ada alat banding yang dapat diakui oleh penegak hukum dan pengadilan.
“Karena itu, E-rekap kali ini masih harus berfungsi sebagai pembanding dan uji coba. Kalau ternyata e-Rekap ini sudah bisa dipercaya dan ada alat kontrol yang dapat digunakan masyarakat maka E-rekap dapat menjadi materi di RUU Pemilu yang sekarang sedang dibahas,” jelasnya.
Mengenai kesiapan masyarakat terhadap penggunaan e-Rekap dalam pemilihan umum, mantan Wali Kota Sukabumi ini ragu hal itu bakal mudah diterapkan. Pasalnya, masyarakat di daerah belum sepenuhnya akrab dengan teknologi.
Untuk itu, ia menyarankan KPU dan pemerintah agar mengumpulkan dan mengkaji daftar masalah beserta solusinya jika nantinya sistem ini ingin diterapkan.
“Belum merata. Contoh walaupun di perkotaan, di Jabar untuk generasi berusia 45 tahun ke atas masih banyak yang nggak siap,” ungkap legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat IV ini.
Sebelumnya, semua pimpinan di Komisi II DPR sepakat jika e-Rekap diterapkan pada Pilkada 2020. Mereka yang sekaligus mewakili fraksi masing-masing berpandangan penggunaan e-Rekap memiliki sejumlah kelebihan.
Di antara kelebihan yang didapat, seperti dikatakan Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDIP Arif Wibowo, adalah meminimalisir kecurangan dalam pilkada. Selain itu, sistem ini juga berfungsi sebagai alat kontrol atau pembanding terhadap data rekapitulasi suara manual.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKB Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan penggunaan e-Rekap sangat relevan diterapkan terlebih di masa pandemi. Alasannya, hal tersebut bisa memperpendek rantai penghitungan suara. Secara anggaran, sistem ini juga akan lebih menghemat biaya.
Dari fraksi Nasdem, wakil ketua Komisi II Saan Mustofa berpendapat sistem yang berbasis teknologi dalam pemilu bermanfaat dalam jangka panjang lantaran dokumen manualnya masih bisa ditelusuri kembali manakala terjadi sengketa pemilihan.
Sementara itu, Ketua Komisi II yang juga mewakili fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan penyelenggaraan pemilu semakin hari harus semakin sederhana, di antaranya adalah menggunakan teknologi sebagai sarananya. Selain itu, penyederhanaan pemilu juga untuk menghindari adanya korban akibat kelelahan seperti yang terjadi pada Pilpres 2019 lalu. (Bie)