Jakarta, JurnalBabel.com – Guru Besar Administrasi Publik Universitas Gajah Mada Prof Wahyudi Kumorotomo menyatakan usulan dari banyak pihak untuk menunda penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020 karena merebaknya Covid-19 sangat masuk akal.
“Mengingat bahwa situasinya memang sudah betul-betul darurat dan menyangkut keselamatan dan nyawa banyak orang,” kata Prof Wahyudi saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/3/2020).
Pakar otonomi daerah ini memaparkan beberapa catatan terkait penundaan Pilkada serentak 2020.
Rencana pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada Serentak pada tahun 2020 merupakan agenda politik yang memang sejak lama direncanakan berdasarkan UU No.10 tahun 2016 bersamaan dengan UU No.2/2008 tentang Parpol dan UU No.7/2017 tentang Pemilu.
Menurut rencana, pada tahun 2020 ini Pilkada serentak akan dilaksanakan di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
“Namun mengingat bahwa potensi penyebaran virus Corona yang begitu cepat sejak kasus pertama yang diumumkan oleh Presiden pada tanggal 2 Maret 2020, penundaan Pilkada serentak atau modifikasi sistem pemilihan harus dipertimbangkan,” ujar Prof Wahyudi saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/3/2020).
Menurutnya, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa pandemi Covid-19 ini akan semakin cepat dengan pola penyebaran menurut angka eksponensial. Model matematis Richard’s curve menunjukkan bahwa puncak pandemi akan berlangsung sampai pekan ke-3 bulan April 2020 dengan angka mencapai 60.000 orang tertular Covid-19 dan baru menurun signifikan sekitar awal Mei 2020.
Model ini dibuat dengan asumsi bahwa imbauan pemerintah mengenai social-distancing cukup efektif untuk mencegah meluasnya penularan. Masalahnya adalah bahwa Pilkada serentak yang dilakukan secara konvensional sudah pasti akan menciptakan kerumunan orang banyak dan akan memperluas penularan.
Jika prediksi meluasnya penularan Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia tersebut sesuai dengan kenyataan, maka penundaan Pilkada terutama di daerah-daerah yang terdampak merupakan sebuah keharusan.
“Namun yang barangkali juga bisa diperhitungkan adalah jadwal Pilkada serentak itu sendiri. Di kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, rencana untuk menggelar Pilkada pada tanggal 29 Maret 2020 sangat mengkhawatirkan,” katanya.
Sistem e-voting
Alternatif yang bisa dilakukan oleh KPUD adalah memaksimalkan sistem e-Voting sehingga warga pemilih bisa menentukan pilihan menggunakan ponsel atau gawai dengan sistem identifikasi elektronik.
Untuk daerah pedesaan yang penduduknya banyak yang belum memiliki gawai, KPUD bisa memfasilitasi dengan penggunaan laptop di KPPS dengan tetap mengedepankan kebijakan jaga-jarak dan sistem fasilitasi disinfektan yang efektif.
“Tetapi bagi daerah seperti provinsi Babel yang masih akan menyelenggarakan Pilkada pada bulan September 2020, yang terkendala oleh merebaknya Covid-19 barangkali adalah tahapan persiapannya,” katanya.
Jika KPUD bisa bekerja dengan efisien segera setelah badai pandemi surut, Pilkada mungkin dapat dilakukan sesuai jadwal.
“Betapapun, penyelenggaraan agenda politik berupa Pilkada serentak jangan sampai mengesampingkan aspek yang lebih penting dan mendasar, yaitu kesehatan, keselamatan dan keamanan para pemilih,” pungkas pakar otonomi daerah ini.
Sangat Memungkinkan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Muhammad Imam Nasef, berpandangan dalam perspektif konstitusional, penundaan Pilkada serentak 2020 sangat beralasan dalam rangka memproteksi dan menjamin hak hidup warga negara sebagaimana ditegaskan di dalam konstitusi.
Sebagaimana diketahui covid-19 sampai dengan saat ini sudah menyebabkan 49 orang meninggal dunia. Penyelanggaraan Pilkada yang melibatkan banyak orang tentu potensial menjadi epicenter penularan covid-19 yang membahayakan hak hidup warga negara.
Namun demikian pertanyaannya adalah instrumen apa yang akan digunakan? Ada tiga opsi sebenarnya. Pertama, apabila merujuk kepada pasal 120 UU pilkada maka KPU bisa menggunakan istrumen “pemilihan lanjutan”.
“Dalam pasal tersebut dimungkinkan penundaan pelaksanaan tahapan pilkada dan dimulai lagi dari tahapan yang sempat terhenti,” ujar Imam Nasef saat dihubungi terpisah.
Kedua, apabila merujuk kepada pasal 121 UU Pilkada maka KPU bisa menggunakan instrumen “pilkada susulan”. Dalam pasal tersebut dimungkinkan dilakukan penundaan terhadap seluruh tahapan pemilihan.
Untuk opsi pertama & kedua tersebut, syaratnya salah satunya adalah apabila ada kondisi “bencana alam”.
“Nah, dalam konteks itu tinggal pemaknaan terhadap frasa “bencana alam” itu aja yang harus di-clearkan, apakah wabah covid-19 bisa dimaknai sebagai “bencana alam” sebagaimana dimaksud pasal 120 & 121 tersebut,” katanya.
Ketiga, di luar dua opsi tadi bisa juga menggunakan instrumen penundaan pilkada karena keadaan khusus, yaitu adanya kegentingan memaksa. Apabila merujuk kepada pasal 201 ayat (6) UU Pilkada, disitu memang telah secara tegas ditentukan waktu pelaksanaan pilkada adalah september 2020.
Apabila merujuk ke pasal ini, maka mau tidak mau Presiden harus terbitkan Perppu untuk mengubah jadwalnya dengan alasan adanya state emergency.
Menurutnya ketiga opsi tersebut punya dasar hukumnya masing-masing. “Tinggal pemerintah dan KPU bagaimana menentukan dan mengambil keputusan tentu dengan dasar pertimbangan yang sangat matang dan hati-hati serta disesuaikan dengan perkembangan kondisi di masyarakat,” jelasnya mengakhiri. (Bie)
Editor: Bobby