Jakarta, JurnalBabel.com – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), nampaknya batal dibahas dan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Pasalnya, pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR menolak membahas RUU yang diinisiasi Komisi II DPR ini.
Daftar RUU Prolegnas prioritas 2021 pun hingga kini belum disahkan atau dibawa ke Paripurna DPR. Salah satunya penyebabnya yakni belum sepakatnya seluruh fraksi di DPR untuk membahas RUU Pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR yang juga anggota badan legislasi (Baleg) DPR, Syamsurizal saat dihubungi, Rabu (17/2/2021), angkat bicara mengenai polemik RUU Pemilu ini. Dia mengungkapkan secara garis besar RUU ini secara teknis memang belum siap untuk dibahas. Salah satu penyebabnya yakni RUU tersebut belum selesai di harmonisasi di tingkat Baleg DPR.
“Secara teknis barang itu belum jadi, karena harmonisasinya belum selesai di tingkat Baleg,” ungkap Syamsurizal.
Sekedar informasi, pengajuan atau usulan sebuah RUU dalam proses legislasi di DPR, seluruhnya harus melalui tahapan harmonisasi di Baleg DPR. Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah usulan RUU itu bertentangan dengan konstitusi atau ada kesamaan dengan UU yang sudah ada.
Lebih lanjut Syamsurizal mengatakan sepengetahuannya hingga saat ini belum ada jadwal pembahasan harmonisasi RUU Pemilu di Baleg DPR. Pasalnya, saat ini DPR sedang memasuki masa reses. Namun, ia memastikan seluruh fraksi di Komisi II DPR sebagai pengusul RUU ini sudah sepakat tidak lagi membahasnya.
“Awalnya dari 9 fraksi di Komisi II DPR, 6 fraksi menolak bahas RUU Pemilu. Sekarang sudah seluruhnya,” ungkapnya.
Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Bidang Isu Strategis ini memaparkan sikap fraksinya di DPR mengapa RUU Pemilu ini belum perlu dibahas. Pertama, UU Pemilu yang saat ini baru berusia kurang lebih tiga tahun yang dinilai Syamsurizal masih layak dipergunakan untuk Pemilu 2024.
“Masa belum di uji sudah dirombak? Ini menjadi sesuatu yang tidak baik, preseden buruk. Ini yang PPP tidak mau. Ini alasan yang paling penting,” tegas Syamsurizal.
Kedua, point-point dalam draf RUU Pemilu seperti ingin menggabungkan UU Pemilu dengan UU Pilkada, perubahan sistem pemilihan dari proporsional terbuka ke tertutup, kenaikan ambang batas parlemen dan pemilihan presiden, kata Syamsurizal, seluruhnya memerlukan perdebatan atau diskusi yang lama.
“Karena kita punya 9 partai politik/fraksi di DPR, ini payah sekali kita akan menyatukannya,” ujarnya.
Belum lagi, tambahnya, draf RUU Pemilu mengatur larangan mantan anggota organisasi terlarang seperti HTI, FPI, PKI, dilarang ikut Pemilu. Menurutnya, hal itu juga bakal menjadi polemik di masyarakat dan juga membutuhkan waktu diskusi yang lama di DPR. Sementara, kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini sedang baik.
“Itu kan disaat seperti ini tidak baik. Saat ini kondisi sudah baik, tinggal kita konsentrasi pada penanganan Covid,” pungkas legislator asal Riau ini. (Bie)