Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Amin Ak, menyoroti penunjukan eks narapidana kasus korupsi Izedrik Emir Moeis sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).
Perusahaan tersebut merupakan anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero). PT Pupuk Indonesia sendiri adalah perusahaan BUMN. Mengutip laman resmi perusahaan, Emir Moeis diangkat menjadi komisaris sejak 18 Februari 2021 lalu. Dia ditunjuk sebagai komisaris oleh para pemegang saham PT PIM.
Amin mengatakan Kementerian BUMN sudah membuat core value yang sangat bagus yaitu ‘AKHLAK’ (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif).
“Saya sendiri sudah sering menyampaikan ke Menteri BUMN tentang pentingnya setidaknya 2 hal dalam penunjukan direksi dan komisaris BUMN yaitu integritas moral dan kompetensi,” kata Amin Ak saat dihubungi, Kamis (5/8/2021).
Selain itu, lanjut Amin, ada nilai-nilai yang sudah sangat dipahami dan diterima oleh publik dalam pengelolaan perusahaan yaitu prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
“Dimana kesesuaian penunjukkan Emir Moeis dan beberapa Komisaris BUMN sebelumnya yang dikritisi oleh publik dengan core value ‘AKHLAK’? Hanya Kementerian BUMN yang tahu,” ujarnya.
Dalam peraturan perundang-undangan, penunjukan eks koruptor ini kata Amin tidak melanggar. Namun ia berkata apabila menurujuk ke aturan UU dengan mengabaikan prinsip-prinsip GCG, maka semua orang bisa menjadi direksi atau komisaris.
Sebab itu, ia menegaskan penunjukan Emir Moeis ini pelanggaran AKHLAK. “Kalau menurut saya itu pelanggaran terhadap ‘AKHLAK’ dan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik,” pungkasnya.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis tiga tahun penjara terhadap kader PDI-P, Izedrik Emir Moeis pada 2014 lalu, yang dijerat dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, tahun 2004. Dia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara.
Hakim menilai Emir yang saat itu menjadi anggota Komisi VIII DPR saat itu terbukti menerima USD 357.000 dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.
Emir dianggap melanggar Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001. Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan penjara.
Hakim menjelaskan, Emir menerima uang dari konsorsium Alstom yang ditransfer ke rekening perusahaan anak Emir yaitu PT Arta Nusantara Utama (ANU) secara bertahap.
“Total yang diterima terdakwa adalah 357.000 dollar AS. Maka, unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi,” ujar Hakim Soafialdi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/4/2014).
(Bie)