Jakarta, JurnalBabel.com – Target pertumbuhan ekonomi tahun 2024 yang dicanangkan oleh Pemerintah sebesar 5,2%, menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi dalam sepuluh tahun terakhir, atau semenjak Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo berkuasa pada tahun 2014.
Demikian disampaikan oleh Anis Byarwati, Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS, dalam merespon Pidato Presiden Pengantar RAPBN dan Nota Keuangan 2024, Rabu 16 Agustus 2023, di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.
“Tahun 2024 akan menjadi APBN terakhir yang akan dijalankan oleh Pemerintahan saat ini, sebelum nantinya terjadi peralihan kepemimpinan nasional pada bulan Oktober 2024. Dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai oleh Pemerintah hanya mencapai 4,23 persen. Jauh dari target yang disampaikan oleh Presiden Jokowi diawal masa kepemimpinanya sebesar 7%. Bahkan dalam RPJMN 2020-2024, target pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6,0-6,2 persen pada akhir tahun 2024,” kata Anis Byarwati dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/8/2023).
Menurut Anis, tentu tidak bisa dipungkiri, dalam dua tahun 2020-2022, Perekonomian global menghadapi krisis multi dimensi yang disebabkan oleh serangan pandemi Covid-19.
Ia menilai, kondisi ini menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasca Covid-19 pemulihan ekonomi Indonesia banyak terbantu oleh tingginya harga komoditas unggulan, seperti batu bara, nikel, kelapa sawit dan komoditas lainnya.
“Ujian sesungguhnya akan terlihat ketika harga komoditas tersebut mulai turun pada pertengahan tahun 2023,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR ini mengungkapkan, proses konsolidasi fiskal dan transformasi struktural yang sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir belum terlalu banyak mempengaruhi perekonomian nasional.
Menurutnya, hal tersebut tercermin dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law), keputusan MK untuk memperbaiki kualitas UU belum dilaksanakan sepenuhnya, akibatnya hubungan industry antara pekerja dengan pengusaha bahkan dengan Pemerintah sekalipun menjadi kurang harmonis, kondisi ini sangat tidak sejalan dengan semangat untuk membangun iklim investasi yang kondusif.
Begitupula dengan sektor perpajakan, membaiknya penerimaan perpajakan belum sepenuhnya hasil dari implementasi kebijakan UU HPP yang sudah dilaksanakan, tetapi masih sangat terbantu oleh harga komoditas.
Begitupula harapan terhadap perbaikan hubungan keuangan pusat dan daerah, belum mencerminkan perbaikan kualitas fiskal daerah, pelaksanaan UU HKPD belum berjalan secara efektif dalam memperbaiki kinerja ekonomi dan keuangan daerah.
“Masih banyak persoalan yang dihadapi baik oleh Pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan hubungan pusat dan daerah,” ungkapnya.
Terkait dengan transformasi ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah, kata Anis, ditempuh melalui dua strategi utama, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka menengah. Strategi jangka pendek difokuskan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem, penurunan prevalensi stunting, pengendalian inflasi, dan peningkatan investasi.
“Sepertinya akan sangat sulit bagi Pemerintah untuk bisa mewujudkannya penurunan prevelensi serendah mungkin dan menghapuskan kemiskinan ekstrem hanya dalam waktu kurang lebih satu tahun kedepan. Sedangkan agenda jangka menengah yang menjadi target Pemerintah akan sangat tergantung dari Presiden terpilih nantinya,” ucapnya.
Ia juga berpandangan, alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp660,8 triliun atau 20% APBN, belum mencerminkan besarnya alokasi anggaran terhadap mutu dan kualitas pendidikan yang dihasilkan sampai saat ini. Skor PISA (Program for Internasional Student Assessment) Indonesia juga masih di bawah rerata OECD dan ASEAN-5. Hal yang sama juga ditunjukkan dari Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan peers.
“Hal itu menunjukkan, mandatory spending untuk pendidikan belum berjalan efektif,” kata Anis.
Begitupula alokasi anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp186,4 triliun atau 5,6% dari APBN, kata Anis, juga belum membawa perubahan yang signifikan bagi kualitas layanan Kesehatan dalam sepuluh tahun terakhir.
“Tingginya angka prevalensi stunting serta penanganan penyakit katastropik yang masih signifikan. Selain itu, belum optimalnya layanan dasar dan kegiatan promotive preventif yang tercermin dari antara lain masih tingginya persentase Puskesmas yang belum memenuhi standar tenaga kesehatan,” tuturnya.
Adapun alokasi anggaran infrastruktur yang dialokasikan sebesar Rp 422,7 triliun, tentunya akan lebih banyak dialokasikan untuk menyelesaikan proyek strategis nasional yang belum selesai, termasuk proyek IKN.
“Proyek-proyek infrastruktur yang dibangun secara sporadis dalam beberapa tahun terakhir, justru akhirnya menjadi beban bagi Pemerintah sendiri. Selain itu, anggaran bidang ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp108,8 triliun juga belum terlihat hasilnya, bahkan banyak program pengembangan kawasan food estate yang gagal dilaksanakan,” sesal Anis.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI mengatakan, kebijakan hilirisasi sumber daya alam yang sangat gencar dilaksanakan oleh Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, masih memiliki PR yang cukup banyak untuk diselesaikan.
“Selain persoalan regulasi, insentif, lingkungan yang tidak kalah pentingnya sejauhmana keberadaan proyek hilirisasi memiliki nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, jangan sampai menimbulkan ketimpangan baru antara dunia usaha dengan masyarakat sekitar. Industri yang terlibat bergelimang keuntungan sementara masyarakat hanya sebagai penonton,” ungkapnya.
Legislator asal DKI Jakarta ini menandaskan, posisi utang pemerintah Indonesia juga sangat mengkhawatirkan, mencapai Rp7.848,8 triliun per 31 April 2023 (tidak termasuk utang BUMN). Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) kita mencapai 38,15%. Selain itu, porsi bunga utang terhadap PDB juga mengalami peningkatan pada tahun RAPBN 2024.
Alokasi untuk pembayaran bunga utang direncanakan sebesar Rp497.319,6 miliar, naik 12,7 persen dari alokasi pembayaran bunga utang pada APBN tahun 2023. Kalau dikomparasi dengan belanja RAPBN 2024 nilainya mencapai 15,05%. Jika dikomprasi dengan belanja pendidikan mencapai 75,5% dari anggaran pendidikan. Sedangkan jika dibandingkan dengan belanja kesehatan mencapai 2,6 kali atau 266% dari belanja kesehatan. Sebuah angka yang sangat besar sekali harus dikeluarkan untuk bunga utang saja,” pungkasnya.
(Bie)