Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu, menegaskan gugatan Presidential Threshold (PT) atau ambang batas pencalonan Presiden paling sedikit perolehan kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan untuk kepentingan politik sesaat.
Syaikhu mengatakan, gugatan yang dilayangkan partainya itu setelah melihat keterbelahan bangsa dalam dua pemilihan presiden terakhir.
“Ini bukan masalah kepentingan sesaat atau kepentingan partai sesaat untuk 2024, justru ini kepentingan ketika melihat dari latar belakangnya keterpecahbelahan bangsa ini dalam dua Pemilihan Presiden 2014 dan 2019,” kata Ahmad Syaikhu usai sidang perdana uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur presidential threshold, secara virtual di Kantor DPP PKS, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Syaikhu menuturkan, jika ketentuan PT 20 persen tetap dipertahankan, maka dikhawatirkan masyarakat semakin terbelah. Menurutnya, salah satu upaya untuk merekatkan kembali masyarakat, yakni, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengoreksi ketentuan PT 20 persen.
“Kalau itu terjadi, kita ikhtiar mudah-mudahan polarisasi ini akan semakin terurai apalagi kalau ada tiga empat pasangan calon kandidat, saya kira tidak sekeras dua kandidat saja. Itu yang menjadi latar belakang kenapa kita ingin melakukan perubahan PT,” tegasnya.
Mantan Wakil Wali Kota Bekasi ini membantah munculnya angka PT 7-9 persen lantaran suara yang dimiliki PKS kurang dari 20 persen. Ia beralasan angka tersebut muncul dari hasil hitungan ENPP.
“Itu karena memang ketika dimasukan dalam rumus-rumus yang ENPP itu kisarannya angka itu (7-9 persen),” tuturnya.
PKS ingin dalam menetapkan ambang batas penetapan calon presiden ada dasar rasionalitas dan bukan hanya sekadar penetapan 20 persen tanpa dasar yang kuat.
“Jadi kami ingin mencoba ada dalil yang kuat yang menjadi dasar bahwa ketentuan angka itu memang berdasarkan rasionalitas yang bisa diterima oleh publik,” ujar anggota komisi I DPR ini. (Bie)