Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Achmad, angkat bicara sekaligus menyoroti terkait berbagai kalangan terutama masyarakat sipil anti korupsi yang mempersoalkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif atau caleg pada pemilihan umum atau Pemilu 2024.
Menurut Prof. Suparji, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak Caleg mantan narapidana untuk berkontestasi dalam pesta demokrasi pada 14 Februari 2024 mendatang.
Prof. Suparji pun tidak asal bicara atau mendukung Caleg mantan narapidana maju di Pemilu 2024, melainkan ia memiliki beberapa argumentasi yang cukup kuat untuk mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Pertama, dari sisi agama. Prof. Suparji mengatakan setiap manusia/orang tidak lepas dari berbuat salah. Setelah itu, manusia bisa bertobat atau tidak mengulangi perbuatan negatifnya dan berubah menjadi manusia biasa yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
“Jangan menghukum orang selama-selamanya, karena belum tentu yang bersangkutan salah. Mungkin hanya korban politik atau sistem, atau mungkin ada kekhilafan dalam putusan pengadilan,” kata Prof. Suparji saat dihubungi di Jakarta, Senin (4/8/2023).
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis daftar nama caleg Pemilu 2024. Temuan ICW pada 19 Agustus 2023 silam terdapat 15 nama mantan koruptor yang menjadi caleg, tetapi kini sudah bertambah menjadi 24 nama.
Selain memegang nama caleg berstatus mantan koruptor, Komisi Pemilihan Umun (KPU) RI juga memiliki daftar caleg sebagai mantan narapidana yang masuk dalam daftar calon sementara (DCS) Pemilu 2024.
Berdasarkan data tersebut, terdapat 52 caleg DPR RI dan 16 caleg DPD RI yang merupakan mantan terpidana dengan ancaman pidana 5 tahun atau lebih.
Kedua, lanjut Prof. Suparji, dari sisi ideologi Pancasila. Ia menuturkan dalam sila ke 5 Pancasila menyebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, kata dia, tidak boleh ada diskriminatif, perlakuan yang berbeda dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan sebagainya.
“Itu lah fungsi dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.
Ketiga, dari sisi konstitusi. Prof. Suparji berpandangan setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Selain itu, hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia atau HAM.
Keempat, dari sisi teori pemidanaan. Ia menilai, pemidanaan itu adalah urusan negara karena telah mengambil peran mempidana warga negaranya melalui misalnya Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Kemudian dimasukan kedalam lembaga pemasyarakatan atau Lapas.
“Artinya negara sudah mengambil alih dan menghukum yang salah. Kalau orang dihukum selama-lamanya, berarti tidak percaya dengan sistem negara,” tegasnya.
Kelima, dari sisi hukum para caleg mantan narapidana ini tidak dicabut hak politik. Begitu juga, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu memperbolehkan mantan narapidana maju sebagai Caleg dengan syarat mengumumkan kepada publik pernah dipidana.
Tidak hanya itu, kata Prof. Suparji, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022, para caleg mantan terpidana tersebut telah melalui masa jeda 5 tahun usai dinyatakan bebas murni sehingga sah berkontribusi dalam Pemilu 2024. Begitu juga dalam Peraturan Komisi Pemili Umum (PKPU) memungkinkan mantan narapidana maju sebagai Caleg.
“Apa yang dikhawatirkan? Pakai alasan apa menolak itu (mantan narapidana jadi Caleg),” tegasnya.
Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini juga menyinggung masalah etika. Ia mempertanyakan hal etika apa yang tidak dipatuhi oleh para mantan narapidana ini, karena etika itu juga di internalisasi dalam regulasi.
Terkait khawatiran mantan narapidana ini mengulangi perbuatannya, Prof. Suparji meminta jangan berprasangka buruk, berasumsi dan berhalusinasi hal itu. Justru sebaliknya, seseorang yang pernah melakukan kesalahan di masa lalunya tidak akan mengulanginya lagi, tobat dan kapok.
“Lebih baik mantan penjahat dari pada mantan Kiai, kan gitu. Tidak ada alasan menolak mantan napi,” pungkas ahli hukum pidana ini.
(Bie)