Jakarta, JurnalBabel.com – Memasuki tahun 2025, dinamika politik Indonesia diprediksi akan semakin memanas, terutama di kuartal pertama.
Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio (Hensat), mengatakan, terdapat beberapa isu utama yang akan menjadi sorotan berdasarkan apa yang sudah terjadi di tahun 2024.
“Jadi kalau kuartal pertama akan dihadapkan kondisi politik yang cukup hangat terutama dari penyesuaian PPN 12 persen, kongres PDI Perjuangan, evaluasi 100 hari kinerja kabinet Prabowo Subianto, pelantikan kepala daerah hasil Pilkada, serta tantangan ekonomi yang dihadapi pemerintah,” kata Hensat dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
Founder Lembaga Survei KedaiKOPI ini mengatakan, salah satu isu yang paling hangat diperbincangkan adalah rencana pemerintah untuk menerapkan tarif pajak baru sebesar 12 persen yang kemungkinan besar akan dijalankan oleh pemerintah mulai awal tahun 2025.
Namun, Hensat melihat, hingga saat ini rincian mengenai barang dan jasa yang akan dikenakan pajak ini masih belum jelas, menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan masyarakat dan pelaku usaha.
“Doa pertama kita adalah semoga tidak juga diikuti dengan penyesuaian atau kenaikan harga bahan pokok akibat kenaikan penyesuaian atau penyesuaian tarif pajak 12 persen ini, memang kalau dikatakan barang mewah ya secara harapannya, mudah-mudahan tidak menyinggung harga-harga sembako kemudian air dan lain-lain,” ujarnya.
“Tapi bila beberapa hal kecil seperti QRIS dan Etoll juga diterapkan pajak 12 persen maka kemungkinan ya, kemungkinan itu akan sangat berpengaruh pada harga-harga kebutuhan masyarakat lainnya,” lanjutnya.
Hensat melihat, pemerintah berupaya menahan gejolak dengan program makan bergizi gratis. Menurutnya, program ini terlihat sebagai bentuk ganti rugi atas kenaikan pajak tersebut.
“Hal ini tentunya cara Pak Prabowo yang dengan baik meniru Pak Harto kebijakan Pak Harto yaitu membuat perut rakyatnya kenyang. Jadi di satu sisi 12 persen itu akan berlaku di 2025, prediksinya demikian dan kemudian juga dibarengi dengan makan bergizi gratis,” ungkapnya.
Namun, Hensat berpendapat, misteriusnya pembiayaan program makan bergizi gratis ini juga menimbulkan pertanyaan tersendiri di kalangan masyarakat. Apa lagi, jika benar memang dibiayai oleh Tiongkok (China) seperti yang sudah dikabarkan, Hensa melihat masyarakat pun memiliki pertanyaan tentang dampak dari pembiayaan tersebut.
“Bila Tiongkok memberikan atau membiayai program makan siang bergizi gratis, nah masyarakat pasti bertanya apa yang didapat Tiongkok dari kita atau apa yang didapat China dari kita nah itu masih kita tunggu jawabannya,” kata dosen Universitas Paramadina ini.