Jakarta, JurnalBabel.com – Menjelang disahkannya RKUHP yang direncanakan hari ini oleh DPR dan Pemerintah melalui rapat paripurna DPR, ramai sorotan pembicaraan publik terkait dengan Pasal 256 RKUHP yang mengatur pemidanaan atas hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang merupakan perwujudan demokrasi.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai, semua pihak harus membaca dan pahami secara utuh dan menyeluruh Pasal 256 RKUHP, jangan membacanya tidak utuh. Menurutnya, smeia pihak harus memahami teks dan konteksnya.
“Karenanya untuk ini perlu memahami teks dan konteksnya serta penjelasannya. Hal ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,” kata Azmi di Jakarta, Senin (5/12/2022).
Menurutnya, pasal ini unsurnya bersifat kumulatif dan termasuk delik materil yang menitikberatkan pada timbulnya akibat yang dilarang. Maka harus dibaca klausula pasal ini secara keseluruhan.
Adapun, kata dia, dalam pasal ini unsurnya yakni tanpa ada pemberitahuan, unjuk rasa dan timbulkan kerusuhan. Unsur ini bersifat kumulatif, harus dibuktikan satu persatu. Jadi bila ada demontrasi, unjuk rasa atau pawai yang tidak memberitahu, maka ketentuan undang-undang (UU) yang diterapkan Pasal 15 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang sanksinya dibubarkan bukan sanksi pidana Pasal 256 RKUHP.
“Karena pasal ini harus terpenuhi ketiga unsur tersebut di atas,” ujarnya.
Ketentuan ini, lanjutnya, untuk menjaga dan mengantisipasi sebuah akibat yang tidak diharapkan atau tidak dikehendaki demi menjaga dimensi harmoni keseimbangan demokrasi, kewajiban dan hak dalam melindungi hak asasi guna menjalankan aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dapat dilihat pada penjelasan pasal 256 RKUHP ini yang dibatasi apabila timbul keonaran, huru-hara sampai terganggunya kepentingan umum yang dimaknai jika akibat demo tersebut membuat tidak dapat berfungsinya atau tidak dapat di aksesnya pelayanan publik akibat adanya pawai, unjuk rasa demosntrasi.
Alhasil, pasal ini sebenarnya memberikan ruang keseimbangan bagi yang menyampaikan pendapat, boleh saja menyampaikan pendapat dengan bebas sepanjang bertanggung jawab,yang nanti akan didukung keadaan yang aman, tertib dan damai dengan mekanisme pemberitahuan terlebih dahulu, dan tentunya tanpa mengabaikan, bahwa ada pembatasan yang ditentukan undang undang yang disesuaikan dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban termasuk kewajiban asasi yang harus dijaga keseimbangan nya.
“Hal ini yang perlu disampaikan pada masyarakat, bahwa tidak ada maksud RKUHP nasional mengatur untuk pengekangan atau kriminalisasi bagi unjuk rasa namun hal ini perlu diatur guna perlindungan hukum dan membangun sistem menuju negara demokrasi yang bertanggung jawab serta berkeadilan sosial,” terangnya. (Bie)