Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berniat menghukum para ‘perampok’ atau koruptor anggaran Covid-19 dengan pidana mati. Hukuman yang sepintas membuat badan gemetar itu memang didukung oleh Komisi III DPR RI saat menggelar rapat dengar pendapat kemarin.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Meski demikian, kredibilitas dan integritas pihak berwenang dalam menghukum mati koruptor masih dipertanyakan. Hal itu yang disampaikan anggota Komisi III DPR RI Rahmat Muhajirin saat dikonfirmasi, Kamis (30/4/2020).
Politikus Partai Gerindra ini memahami keinginan KPK dan para anggota komisinya yang hendak menghukum para ‘perampok’ negara dengan pidana mati. Namun ia memandang kebelakang, selama ini peraturan yang menuntut hukuman tegas kepada para koruptor rupanya tak setegas seperti saat mengancamnya dengan kata-kata.
Bukti itu bisa dilihat di saat masih banyak pejabat publik yang tersandung korupsi. Seakan sudah menjadi tabiat bagi pejabat negara, korupsi menurut Rahmat juga diancam dengan hukuman yang mudah ditawar. Bahkan dalam beberapa kasus para koruptor mendapatkan tawaran remisi dari pemerintah.
“Korupsi sudah biasa, sudah terjadi di semua lapisan dan semua lini. Penerapan hukuman mati? Saya kok tidak yakin. Di samping masih ada perdebatan soal HAM, di Indonesia ini juga masih ada masalah hal pelaksanaan hukuman Mati,” ujar Rahmat Muhajirin.
“Ada berapa sekarang di Indonesia narapidana mati yang belum juga di laksanakan eksekusinya?” tanyanya kembali.
Selain itu Rahmat juga ragu bahwa hukuman mati dapat memberi efek jera kepada para pelaku maupun calon pelaku karena melihat realitanya masih ada ‘tikus-tikus berdasi’ yang nekat menilap uang negara, bahkan yang bersarang di Kementerian Agama sekalipun.
Lebih jauh legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur I ini mengungkapkan, institusi negara yang bergerak di bidang hukum masih mempunyai sejumlah persoalan yang jarang dievaluasi.
Dia mencontohkan di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Institusi yang dipimpin oleh Yasonna Hamonangan Laoly itu memiliki badan yang bertugas di bagian penelitian dan pengembangan hukum. Namun, faktanya unsur tersebut tidak berjalan dengan produktif.
“Buktinya, masih banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, masih banyak peraturan perundang-undangan yang tidak di laksanakan,” ungkapnya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini memberi contoh beberapa peraturan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo yang mengatur tentang penanganan wabah korona atau Covid-19. Semestinya, kata dia, Kemenkumham harus jeli melihat regulasi itu masih berkaitan dengan beberapa UU yang lebih dulu mengatur soal wabah penyakit.
Dengan begitu, Presiden tak perlu menerbitkan peraturan lain sehingga terlalu banyak muncul materi peraturan yang berpotensi tumpang tindih. UU tentang Kekarantinaan Kesehatan, Penanggulangan Bencana, dan Wabah Penyakit menurutnya sudah cukup dijadikan acuan untuk menangani pandemi korona. “Cukup gunakan UU yang ada, tidak ada kekosongan Hukum,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby