Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak menilai, rangkap jabatan Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencederai etika publik dan kontraproduktif terhadap upaya perbaikan pelayanan publik dan tata kelola BUMN yang baik (Good Corporate Governance).
“Rangkap jabatan tersebut juga menabrak undang-undang dan peraturan pemerintah yang juga berdampak pada tidak profesionalnya pelaksaan tugas mereka,” kata Amin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/3/2021).
Amin mengapresiasi penyelidikan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU menemukan 62 orang pejabat BUMN baik direksi maupun komisaris merangkap jabatan di perusahaan non BUMN. Jumlah tersebut baru meliputi BUMN yang bergerak di tiga sektor saja. Pertama, sektor keuangan, asuransi dan investasi. Kedua, sektor pertambangan dan Ketiga, sektor infrastruktur.
Amin pun mendukung KPPU melanjutkan penyelidikan sektor-sektor lainnya. Ia meyakini jika praktek rangkap jabatan tidak hanya terjadi di tiga sektor tersebut. Amin juga berharap Kementrian BUMN segera menindaklanjuti temuan tersebut dengan langkah-langkah yang nyata demi perbaikan kinerja BUMN.
“Ini luar biasa. Bahkan ada orang yang merangkap hingga 22 jabatan. Potensi konflik kepentingan dan pelanggaran terhadap penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat sangat tinggi,” ujarnya.
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Timur IV ini menyatakan agar BUMN dapat mencapai tujuan pendiriannya maka proses seleksi direksi dan komisaris harus mengedepankan azas profesionalisme dan integritas, bukan dengan pendekatan politik yang berujung pada bagi-bagi jabatan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menyontohkan pengabaian terhadap UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pada Pasal 33 disebutkan “Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Pasal ini melarang anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan,” jelasnya.
Menurutnya, Dewan komisaris berperan penting dalam penerapan good corporate governance dengan menjalankan peran pengendalian dan pengawasan secara efektif. Jika jabatan komisaris BUMN diserahkan kepada swasta, dikhawatirkan dapat melemahkan pengawasan pemerintah atas perusahaan pelat merah dan mendorong liberalisasi BUMN.
“Lemahnya tata kelola dan pengawasan merupakan dua hal yang harus menjadi prioritas dalam membenahi BUMN saat ini. Masih banyaknya kasus korupsi dan penyelewengan di tubuh BUMN, termasuk megaskandal Jiwasraya dan Asabri adalah buktinya,” bebernya.
Selanjutnya dalam konteks etika pelayanan publik, dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 17 jelas dilarang adanya rangkap jabatan pada pelaksana pelayanan publik baik sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha. Karena BUMN tidak hanya berorientasi profit namun juga menjalankan misi pelayanan publik, maka aturan tersebut juga berlaku pada BUMN dan BUMD.
Politisi PKS ini menolak pendapat yang mengatakan praktik rangkap jabatan di level direksi dan komisaris perusahaan pelat merah tak bisa dihindari. Konsep “Talent Pool” yang digunakan Kementerian BUMN semestinya dengan mudah bisa menemukan sosok sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, dan mereka bersedia tidak merangkap jabatan di entitas usaha lain.
“Kalau perlu, panggil pulang WNI yang berkiprah di berbagai perusahaan di luar negeri. Ajak mereka membangun negeri ini, dan rasanya kompensasi gaji dan fasilitas yang diberikan negara bagi direksi dan BUMN sangat memadai kok,” tegas Amin.
(Bie)