Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi X DPR RI, Elnino M Husein Mohi, mengkritisi pengumuman hasil seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap pertama dan kedua, yang dinilainya ‘blunder’ dalam beberapa hal.
Elnino mengatakan maksud di awalnya baik terkait seleksi tersebut, yaitu untuk menguatkan guru serta kualitas pendidikan nasional. Terutama dalam masa pandemi dan pasca pandemi, dimana kualitas pendidikan menurun serta ekonomi para guru juga terganggu. Maka disiapkanlah pencapaian target pengangkatan 1 juta guru untuk menjadi guru PPPK.
Lebih lanjut Elnino mengatakan maksud yang baik itu ketika menanamkan harapan yang besar kepada ratusan ribu, bahkan jutaan, guru honorer yang sudah mengabdi belasan dan puluhan tahun mencerdaskan anak-anak bangsa di lingkungannya masing-masing.
“Harapan yang besar itu akhirnya justru menuai kekecewaan yang besar pula bagi sebagian guru honorer karena mereka justru kesulitan menembus tes PPPK tersebut,” kata Elnino dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/12/2021).
Menurut Elnino, faktor umur, kemampuan pribadi dalam teknis yang sudah terkomputerisasi (sering salah pencet tombol, dll), tidak terbiasa dengan soal-soal tes dan sebagainya adalah beberapa masalah yang sulit teratasi oleh sebagian guru honorer.
Padahal, kata Elnino, para guru honorer tersebut sudah puluhan tahun mengajar dan mendidik murid-murid mereka.
“Demi apa? Bukan demi uang, tapi karena mereka tidak tega melihat anak-anak di sekitarnya belajar tanpa jumlah guru yang memadai,” ujarnya.
“Mereka telah menghibahkan diri mereka, waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan doa mereka demi masa depan para murid, anak-anak bangsa ini, anak-anak negara ini. Mereka rela hidup miskin dengan keluarga dan anak-anak mereka sendiri, demi mengajar dan mendidik banyak orang,” tambahnya.
Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan ada banyak contoh di semua daerah betapa seorang guru (honorer) tak mampu membiayai anaknya sendiri yang ingin melanjutkan sekolah. Mereka benar-benar menjadi pahlawan bagi banyak anak masa depan, tapi benar-benar tanpa tanda jasa.
“Tanda jasa untuk para pengabdi inilah yang menjadi tugas Negara untuk memberikannya. Setidaknya, iya…ini minimal, jasa mereka diberi tanda penghargaan dalam rekrutmen PPPK ini, berupa penambahan nilai (afirmasi) terhadap mereka berdasarkan umur, lama pengabdian, medan juang (keterpencilan dan tingkat kesulitan daerah pengabdian),” jelasnya.
“Tapi ternyata dalam rekrutmen PPPK tahap I dan II, afirmasi itu diberikan oleh negara sangat minim, sehingga para guru honorer itu kalah bersaing dengan anak-anak muda yang memang kualitas hasil tesnya bagus walaupun pengabdiannya belum lama dalam dunia guru,” sesalnya.
Legislator asal Gorontalo berpandangan wajarnya para guru yang sudah mengabdi belasan dan puluhan tahun itu diangkat tanpa tes. Toh mereka sudah pengalaman mendidik murid.
“Itu baru bisa dibilang ada tanda jasa dari negara untuk mereka,” ujarnya.
Elnino menandaskan kalau pun tetap harus test seperti kemauan Kemendikbud, maka afirmasi terhadap mereka mesti lebih besar, yang memperbesar peluang mereka lulus test.
“Semoga Presiden Joko Widodo memberi empatinya kepada mereka melalui Kemendiknas, KemenPAN-RB, Kemendagri dan Kemenkeu RI, dan kemudian membuat kebijakan yang bikin para guru honorer itu tersenyum serta makin mencintai negara Republik Indonesia,” harapnya. (Bie)