Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat dari daerah pemilihan atau dapil DKI Jakarta, Santoso, mempertanyakan dasar hukum atau aturan rencana pemerintah menghilangkan struktur jabatan Wali Kota dan Bupati, yang akan ada hanya Gubernur di Jakarta usai tak lagi berstatus Ibu Kota Negara.
Rencana tersebut disampaikan oleh Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, usai menemui Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono di Balai Kota DKI, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (24/11/2022). Adapun alasan munculnya rencana itu ialah agar ke depannya birokrasi di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menjadi lebih lincah.
“Jika Jakarta yang berstatus sebagai Ibu kota NKRI ada jabatan Wali Kota/Bupati, mana mungkin setelah tidak menjadi Ibu Kota jabatan Wali Kota/Bupati akan dihapus. Dasar dari dihilangkannya Wali Kota/Bupati dari mana aturan yang mendasari itu,” kata Santoso dalam keterangan tertulisnya kepada jurnalbabel.com, Jumat (25/11/2022).
Menurut Santoso, tidak adanya Wali Kota/Bupati dalam suatu wilayah Kota/Kabupaten bentuk pengingkaran. Pasalnya, ungkap dia, keberadaan kota/kabupaten sudah jelas diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”
Meskipun dibuka ruang adanya daerah kekhususan yang dapat dibentuk berdasarkan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”, namun tegas Santoso, itu tidak meniadakan adanya wilayah Kota/Kabupaten di satu provinsi.
Begitu juga, lanjut Santoso, keberadaan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik memang menetapkan bahwa otonominya berada di tingkat provinsi, namun tetap tidak menghilangkan adanya wilayah kota/kabupaten.
“Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI saja masih ada kota/kabupaten, meskipun jabatan Wali Kota/Bupati dijabat oleh ASN karir bukan dipilih melalui Pilkada seperti di kota/kabupaten di Indonesia,” jelas anggota komisi III DPR yang membidangi masalah hukum ini.
Hak Kedaulatan Rakyat Harus Diberikan
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menambahkan seharusnya setelah Jakarta tidak lagi berstatus sebagai Ibu Kota NKRI, maka otonomi harus dikembalikan di tingkat kota/kabupaten. Di mana Wali Kota/Bupati dipilih langsung melalui Pilkada, bukan lagi berasal dari ASN yang dipilih oleh gubernur.
Sebab, kata Santoso, dengan berpindahnya Ibu Kota dari Jakarta ke IKN Nusantara, maka dasar hukum otonomi Jakarta di tingkat provinsi dan Wali Kota/Bupati berasal dari ASN otomatis gugur dengan sendirinya.
“Keadaan yang sebenarnya jangan dibolak balik dengan tidak ada dasar hukummya. Hak kedaulatan rakyat dalam memilih kepala daerahnya, yaitu Wali Kota/Bupati di Jakarta setelah tidak lagi sebagai Ibu Kota NKRI harus diberikan,” terangnya.
Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta ini menegaskan kekhususan Jakarta pasca tidak lagi menjadi Ibu Kota NKRI jika ingin dibentuk menjadi seperti apa, haruslah tetap ada kota/kabupaten yang otonom seperti wilayah lain di Indonesia.
“Beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki kekhususan diantaranya adalah Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Papua. Ketiga provinsi itu meskipun memiliki kekhususan ,namun tetap memiliki kota/kabupaten yang walikota/bupati dipilih melalui Pilkada dan otonomi berada di tingkat kota/kabupaten. Adanya kota/kabupaten adalah perintah dalam UUD 45 pasal 18 ayat (1),” pungkasnya.
(Bie)