Jakarta, JurnalBabel.com – Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan(RUU PPSK) telah disepakati masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.
RUU ini akan mengatur hal-hal yang komprehensif terkait reformasi, pengembangan, dan penguatan sektor keuangan sebagai penyempurnaan regulasi, penataan kewenangan, penguatan koordinasi, dan mekanisme penanganan sektor jasa keuangan.
Aturan tersebut akan merevisi sejumlah undang-undang terkait sektor keuangan, seperti UU Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Produk hukum tersebut akan meliputi pengaturan atau pembaruan regulasi di sektor pasar modal, perbankan, lembaga non bank, lembaga keuangan lainnya hingga sektor keuangan digital.
Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati, menyatakan pada dasarnya RUU PPSK tidak urgen untuk saat ini. Ia menyampaikan sejumlah alasan. Pertama, konten dari RUU PPSK lebih kepada upaya-upaya menggerogoti independensi bank sentral.
“Kami pikir ini sangat berbahaya karena independensi tersebut menjadi syarat suatu kebijakan menjadi kredibel di pasar, baik di dalam maupun di luar negeri,” ujar Anis Byarwati dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/3/2021).
Dampak lanjutan dari kotak-katik independensi bank sentral dapat berujung pada berbagai hal terutama depresiasi rupiah. Anis menambahkan, perlu diingat juga bahwa depresiasi rupiah yang mendalam berdampak buruk bagi perekonomian baik bagi pelaku industri maupun Pemerintah (dalam bentuk lonjakan cicilan utang maupun bunganya).
Selain itu, kerentanan depresiasi rupiah bakal meningkat karena masih tingginya porsi kepemilikan aset asing di dalam negeri baik dari pasar saham (sekitar 45 persen) maupun pasar obligasi (sekitar 30 persen). “Jadi, tolong jangan gegabah soal RUU ini,” tegasnya.
Kedua, wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) ini melihat, persoalan yang dihadapi oleh sektor keuangan Indonesia saat ini lebih kepada rendahnya peranan sektor keuangan terhadap perekonomian nasional. Beberapa rasio sudah mengonfirmasi hal tersebut seperti rasio M2/PDB maupun rasio kredit terhadap PDB. Data-data tersebut tidak lebih dari 40 persen.
“Artinya peranan sektor keuangan di Indonesia sangat dangkal,” katanya.
Hal inilah yang menjadi penyebab daya saing ekonomi rendah. Banyak hal yang menyebabkan kondisi tersebut seperti ridigital suku bunga perbankan (penurunan bunga acuan direspon lambat oleh suku bunga perbankan) hingga struktur pasar oligopoli.
“Hal-hal ini jauh dari persoalan yang diangkat oleh RUU ini,” paparnya.
Ketiga, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini menyatakan bahwa revisi regulasi di saat kondisi tidak normal (pandemi) bisa berdampak buruk terhadap persepsi pasar. Apalagi yang disasar adalah bank sentral.
“Selama ini, kami melihat bank sentral bekerja cukup baik. Tidak ada isu yang menonjol kecuali pada pergerakan nilai tukar yang masih cukup liar. Kami memandang bahwa persoalan kelembagaan sangat sensitif terutama bagi pihak asing,” katanya.
Adapun tanggapan tentang adanya campur tangan Menteri Keuangan dalam penunjukan Dewan Pengawas Bank Indonesia dan OJK dalam RUU PPSK, Anis mengatakan “Saya khawatir hal ini malah berpotensi menimbulkan masalah baru.”
Anis menjelaskan, dalam UU No.9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Indonesia telah memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bahkan komposisi KSSK ini telah merepresentasikan kelembagaan yang jangkauan kewenangannya tidak saja sektor moneter, tapi keseluruhan sektor keuangan yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan.
Khusus tentang Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Anis menyampaikan bahwa ia lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI. Bukan sekedar alat bantu DPR.
“Penguatan kewenangan BSBI ini diperlukan selayaknya lembaga pengawas sebagaimana lembaga tinggi negara lainnya,” pungkasnya. (Bie)