Jakarta, JurnalBabel.com – Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Achmad, menilai tiga opsi yang direkomendasikan pakar hukum tata negara sekaligus Ketuam Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, sulit untuk ditempuh.
Menurutnya, tidak semua partai politik sepakat dengan usulan melakukan amandemen UUD 1945.
Melalui sebuah pernyataan, Yusril Ihza Mahendra memberikan tiga opsi untuk menunda pemilu 2024. Yakni Amandemen UUD 45, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam penyelenggaraan negara.
“Untuk melakukan amandemen, UUD mengamanahkan harus diajukan 1/3 anggota MPR. Dan sidang MPR harus dihadiri 2/3 anggota MPR, serta alasan perubahannya harus kuat dan jelas. Selain itu, amandemen harus disetuji 50% + 1 anggota MPR,” kata Suparji dalam keterangannya, Selasa (1/3/2022).
Menurutnya, untuk mengeluarkan dekrit presiden memang memungkinkan. Namun, mengeluarkan dekrit tak hanya mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis, tetapi juga politis.
“Perlu ada keberanian dari Presiden Jokowi untuk mengeluarkan dekrit, karena jika tidak mampu memberikan dalil yang kuat, dekrit justru akan berbalik pada dirinya sendiri,” ujarnya.
Sementara, untuk menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana yang diusulkan Yusri, Suparji menilai, langkah ini juga cukup ekstrem. Sebab, kata dia, konvensi ketatanegaraan merupakan tindakan yang bersifat mendasar dan dilakukan dalam menyelenggarakan aktivitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara, serta belum diatur dalam konstitusi.
“Konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain preseden yang timbul beebrapa kali. Lalu preseden yang timbul karena sebab secara umum dapat diterima dan ketiga preseden itu karena kondisi politik yang ada. Konvensi ketatanegaraan tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa legitimasi jelas,” jelasnya.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, dosen fakultas hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini berkesimpulan penundaan pemilu akan sulit dilakukan. Sementara, amandemen 1945, menurutnya, paling mungkin dilakukan, sebab mayoritas partai politik merupakan pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.
“Namun tak dapat dipungkiri bahwa sebuah aturan harus mendapat legitimasi di tengah masyarakat. Jika dipaksakan bisa terjadi pro dan kontra melebihi penolakan terhadap UU Cipta Kerja dan RUU KUHP. Ini harus dipertimbangkan secara matang,” tegasnya. (Bie)