Jakarta, JurnalBabel.com – Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) tidak mempermasalahkan atau menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah diajukan pemerintah ke DPR beberapa waktu lalu. Asalkan memenuhi dua persyaratan.
Pertama, pemerintah harus menyadari bahwa prosedur pembuatan draf RUU ini tidak benar karena tidak melibatkan serikat pekerja/serikat buruh.
Kedua, terkait substansi dalam draft RUU ini tidak ada jaminan bagi para pekerja untuk bisa meningkatkan kesejahteraannya dan kelangsungan hidup mereka.
“Pemerintah juga hanya mementingkan investor,” ujar Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi Syaiful Bahri Anshori dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/3/2020).
Menurut Syaiful, kehadiran investasi /investor harus bisa menambah kesejahteraan para pekerja lokal, bukan justru untuk menyengsarakan para pekerja lokal.
“Kalau hal-hal ini bisa terpenuhi, bagi Sarbumusi nggak ada masalah RUU Omnibus Law ini dan ruang dialog harus selalu dibuka,” katanya.
Pasal-pasal dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menzolimi dan merugikan buruh/tenaga kerja Indonesia.
Sebelumnya, Sarbumusi memaparkan pasal-pasal dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai menzolimi dan merugikan buruh/tenaga kerja Indonesia.
Pertama, Pasal 42 yang salah satu ayatnya menyebutkan tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia, namun hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
“Tenaga kerja asing bisa menduduki jabatan kecuali jabatan yang mengurusi personalia,” bunyi ayat (5) dalam pasal 42 tersebut.
Kedua, Pasal 56 ayat 3 yang berbunyi “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak”.
Ketiga, Pasal 58 ayat (2) yang awalnya masa percobaan batal demi hukum dalam PKWT dan menjadi hangus, akan tetapi dalam RUU Ciptaker menjadi masa kerja dan tetap dihitung.
Keempat, Pasal 59 ayat (1) dengan dihapusnya persyaratan PKWT yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu (jenis dan sifat dan kegiatan pekerjaannya yang akan selesai dalam jangka waktu tertentu yakni: pekerjaan sekali selesai/sementara, waktunya 3 tahun, bersifat musiman dan produk baru.
Kelima, Pasal 61 dengan penambahan huruf c yang memasukkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, akan membuat adanya PHK yang terjadi tanpa batas karena PKWT diadakan atas kesepakatan dan tanpa ada syarat apapun dengan dihapusnya pasal 59.
Keenam, Pasal 77 ayat (2) berubah yang dulu diatur 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja menjadi paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam seminggu.
Ketujuh, Pasal 78 ayat (1) mengubah ketentuan waktu kerja lebur dari 3 jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu menjadi 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam satu minggu.
Kedelapan, Pasal 88 B menyebutkan upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Artinya, upah berdasarkan satuan waktu yang akan menjadi dasar penghitungan upah perjam.
Kesembilan, Pasal 88C ayat 1 menyebutkan Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat 2 Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
“Dengan ditetapkannya upah hanya Upah minimum provinsi, sehingga ini akan menghilangkan jenis-jenis upah yang ada seperti upah minimum Kabupaten/kota dan upah sektoral,” jelas Syaiful Bahri Anshori. (Bie)
Editor: Bobby