Jakarta, JurnalBabel.com – Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte telah mengajukan permintaan maaf resmi atas nama negaranya terkait peran negara tersebut dalam perdagangan budak.
Hal ini dilakukan setelah kabinetnya melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni Negeri Kincir Angin di Amerika Selatan dan Karibia.
Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menyayangkan pemerintah Belanda tidak secara eksplisit menyampaikan permintaan maaf terkait praktek perbudakan tersebut kepada Indonesia.
“Mengherankan, Indonesia sebagai wilayah terbesar yang alami penjajahan dan praktek perbudakan Belanda selama ratusan tahun tidak disebutkan. Beberapa kali permintaan maaf Pemerintah Belanda hanya ditujukan terkait kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia selama periode 1945-1949. Sebagai Negara, Indonesia secara resmi memang baru ada tahun 1945, tetapi sebagai bangsa, Indonesia sudah sejak sebelum Belanda menjajah,” kata Sukamta, Jumat (23/12/2022).
Oleh sebab itu, Wakil Ketua Fraksi PKS ini berpendapat Pemerintah Indonesia perlu membentuk tim panel yang terdiri dari ahli sejarah, ahli hukum dan juga aktivis HAM untuk menyusun data dan fakta sejarah yang menunjukkan praktek perbudakan dan penindasan Belanda pada masa kolonialisme.
“Sebagai bangsa besar, kita tidak perlu mengemis permintaan maaf. Tetapi fakta kelam praktek penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh Belanda yang berlangsung selama 300 tahun harus diakui oleh Belanda dan diketahui oleh dunia. Ini penting dilakukan sebagai pengingat, untuk menjauhkan praktek penjajahan karena menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.
Namun demikian, Sukamta juga berharap Pemerintah Indonesia juga memberikan respon secara resmi terhadap beberapa kali permintaan maaf yang disampaikan oleh Pemerintah Belanda terkait kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Permintaan maaf tersebut disampaikan pada awal tahun 2022 oleh PM Rutte dan Raja Willem-Alexander pada tahun 2020 ketika berkunjung ke Jakarta.
“Kalau persoalan belum merespon karena sikap Belanda yang akui Indonesia baru eksis mulai 27 Desember 1949 saat Konferensi Meja Bundar (KMB), mestinya pemerintah perlu sampaikan sikap kepada Belanda untuk mengakui 17 Agustus 1945. Respon secara resmi perlu dilakukan sebagai upaya menjaga relasi dan kerjasama antar dua negara,” pungkasnya.