Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan menyayangkan materi RUU Cipta Kerja yang menghilangkan ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan menggantinya dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Menurutnya, ketentuan itu bermasalah dan melanggar hak rakyat.
“UMP di hampir semua Provinsi lebih kecil dibandingkan UMK Kabupatennya, kecuali di DKI Jakarta. Akibatnya, upah buruh menjadi semakin kecil dan tidak layak. RUU ini menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh, karyawan, dan rakyat kecil,” kata Syarief dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/10/2020).
Tak cuma itu, Syarief juga membeberkan bahwa RUU Cipta Kerja juga membuat aturan pesangon semakin menurun kualitasnya dan tanpa kepastian hukum yang jelas.
Ia lantas menyebut RUU Cipta Kerja akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangon yang diatur dalam beleid tersebut lebih kecil. “Aturan baru ini malah tidak implementatif, kontraptoduktif, dan tidak pro-rakyat,” ujarnya
Ia pun mendorong evaluasi RUU Cipta Kerja yang menghilangkan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan. RUU yang dikenal dengan Omnibus Law ini menggunakan sistem hukum administratif sehingga para pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda.
“Sekarang, sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Pengusaha bisa semena-mena melakukan pelanggaran karena hanya mendapatkan sanksi administratif,” kata Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.
Anggota Komisi I DPR ini pun menyinggung masalah lain yang selama ini dipertentangkan kaum buruh, yakni soal penguatan outsourcing kerja yang berpotensi membuat karyawan kontrak sulit diangkat menjadi karyawan tetap. Seiring dengan itu, RUU ini juga memuluskan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Berikutnya adalah soal PHK yang akan semakin menggeliat, serta hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
Dalam laporan World Bank berjudul “Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery” menyoroti tiga poin RUU Cipta Kerja.
Tiga poin itu adalah klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan. “Revisi terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law memiliki potensi mengurangi perlindungan yang diberikan terhadap pekerja,” tulis World Bank dalam laporannya pada Rabu (29/7/2020).
Syarief Hasan mengingatkan bahwa setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan harus mendengarkan aspirasi rakyat dan melibatkan rakyat. “Suara rakyat harus didengarkan karena bukankah Pemerintah bekerja untuk rakyat?,” kata dia.
Syarief mengatakan banyaknya penolakan dan demo yang dilakukan masyarakat menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja tidak pro-rakyat. Pemerintah dan DPR, lanjut Syarief, tidak boleh memanfaatkan situasi pandemi untuk mengesahkan UU yang tidak diinginkan karena merugikan rakyat.
“Dan bila RUU ini akan disahkan oleh Paripurna DPR, maka Partai Demokrat pasti menolak atau minta untuk ditunda.” pungkasnya.
Jelang tengah malam kemarin, Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD RI, telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna terdeket.
Dalam rapat tersebut sebanyak tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.
Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19.
Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia. Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meskipun dibahas di tengah masa reses dan pandemi.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu. Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
(Bie)