Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Santoso, menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pembentukan Badan Peradilan Pilkada yang semula diamanatkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, lewat putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022.
Dalam putusan itu, MK memutuskan bahwa mereka yang berhak mengadili sengketa Pilkada 2024 dan seterusnya.
“Kita harus menghormati putusan hakim MK karena menjadi wewenangnya untuk memutus apakah UU bertentangan atau tidak terhadap UUD 1945,” kata Santoso dalam keterangan tertulisnya kepada jurnalbabel.com, Selasa (18/10/2022).
Dengan adanya keputusan tersebut, pada akhirnya semua penanganan sengketa Pilkada ada di MK. Yang dipertanyakan Santoso ialah apakah MK akan mampu melakukan sidang-sidang dalam sengketa Pilkada serentak 2024? Pasalnya, pelaksanaan Pilkada akan dilaksanakan di 34 + 3 ( DOB di Papua) provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota minus kabupaten/kota di Jakarta.
Sebab itu, Santoso yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mengatakan MK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan salah satunya menyidangkan sengketa Pilkada, jangan menjadi bagian dari industri hukum, dimana hukum diperjual belikan untuk kepentingan para pihak yang menghalalkan segala cara dalam memenangkan suatu perkara.
“MK harus bersih dari unsur-unsur itu, karena sebagai lembaga negara yang memutus suatu perkara yang bersifat final rentan dengan godaan & menyalahgunakan jabatan,” tegasnya.
“Ini bukan rumor, mengingat pernah terjadi dimana Ketua MK (Akil Mochtar) & hakim MK (Patrialis Akbar) terlibat menerima suap dari pihak yang berperkara,” sambungnya.
Politisi Partai Demokrat asal DKI Jakarta ini mengingatkan MK jangan membuat rakyat skeptis untuk memcari keadilan sangat sulit di republik ini yang telah merdeka lebih dari 75 tahun.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, begitu pun Pasal 157 ayat (1) dan (2)–juga inkonstitusional.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada.
Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
“Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa ‘sampai dibentuknya badan peradilan khusus’ harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Enny dikutip dari situs resmi MK, Senin (3/10/2022).
“Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca ‘Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi’,” ujar Enny melanjutkan.
(Bie)