Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah didesak mengeluarkan kebijakan umum tentang siber yang kuat dalam koridor peraturan dan perundang-undangan. Sebab, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) menyebut bahwa serangan siber merupakan ancaman terhadap negara.
Demikian dikatakan Anggota Komisi I DPR, Sukamta, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (21/11/2021), menanggapi belakangan ini sering terjadi peretasan dan kebocoran data yang menimpa warga negara Indonesia. Beberapa di antaranya bocornya data 279 juta penduduk Indonesia bocor, data BPJS, data E-hac, data KPAI, bahkan data pribadi Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin.
Terbaru kebobolannya situs BSSN dan bocornya data anggota Polri. Sebanyak 28.000 data anggota Polri dibagikan di Raidforum yang mencakup nama, alamat, pangkat, satuan kerja, tanggal lahir, jenis pelanggaran, nomor HP, dan email. Ini semua dilakukan dengan serangan siber.
“Saya sangat menekankan perlunya peningkatan awareness para pimpinan lembaga terhadap data security, update technology, peningkatan kapasitas SDM dan anggaran. Yang lebih penting juga pemerintah harus mengeluarkan kebijakan umum tentang siber yang kuat, tentunya dalam koridor peraturan dan perundang-undangan,” kata Sukamta.
Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, kondisi ketahanan dan keamanan siber (KKS) Indonesia sangat lemah. Pekerjaan rumah (PR) ini harus dikelola dari hulu hingga hilir. Pekerjaan hulu tentunya ada pada peraturan dan perundangan-undangan.
“Dunia maya kita perlu diatur agar tidak menjadi rimba belantara. Hingga saat ini baru UU ITE yang mengatur ranah siber kita,” ungkapnya.
Doktor lulusan Inggris ini menggambarkan peran penting legislasi dalam penguatan siber dari hulu. Jika gunakan Diagram Venn, maka himpunan semestanya adalah relasi internet dan manusia. Lalu di dalamnya ada himpunan KKS (cyber security & defense), keamanan data (data security), transaksi elektronik, cyber crime, perilaku manusia sebagai pengguna internet (digital/information behavior), digital sovereignity dan semuanya beririsan pada soal pelindungan data yang salah satunya adalah pelindungan data pribadi.
Sukamta menilai masih banyak himpunan yang kosong belum ada regulasinya. Sebab itu, penting adanya RUU KKS dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Ia pun berharap RUU KKS bisa dimasukkan kembali dalam Prolegnas dan RUU PDP segera selesai dan disahkan menjadi undang-undang.
“Namun, mengingat kondisi yang mendesak, sementara waktu untuk pembuatan undang-undang tidak sebentar, saya mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat siber kita,” tegasnya.
Lebih lanjut Sukamta menjelaskan saat ini dunia Siber kita ditangani setidaknya oleh BSSN dan Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) Polri. Dasar hukum BSSN adalah Perpres No. 53 tahun 2017 jo. No. 28 tahun 2021.
Sukamta berpandangan hal tersebut jelas tidak cukup. BSSN harus diperkuat dengan sebuah undang-undang, karena BSSN diharuskan mengoordinasikan semua fungsi KKS di lembaga-lembaga publik secara nasional. Jangan sampai ada ego sektoral di sini, karena bisa menghambat dan memperlambat semuanya.
“Yang perlu diperhatikan juga adalah soal diplomasi siber yang merupakan jembatan bagi negara kita untuk bekerja sama dengan negara-negara lain, khususnya terkait investigasi dan penindakan terhadap pelaku kejahatan siber dari negara lain. Seperti kasus situs BSSN dan data Polri ini kan klaimnya pelaku berasal dari Brazil. Yurisdiksi harus jelas diperkuat dengan diplomasi siber,” pungkasnya.
(Bie)