Oleh: Muhammad Rullyandi (Pakar Hukum Tata Negara)
Menurut pandangan saya meskipun sudah ada permintaan maaf, seharusnya Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo, Andi Taufan Garuda Putra, yang sedang ramai di media itu di pecat saja, karena pelanggaran konflik kepentingan yang tidak ringan dengan posisi sebagai Stafsus maupun sebagai CEO PT Amartha Mikro Fintek.
Sayangnya tidak ada peradilan etik untuk di kalangan Sekretaris Kabinet (Setkab), seandainya saja posisinya sebagai penyelenggara pemilu mungkin saja sanksi yang diberikan bukan lagi teguran keras, tetapi bisa jadi langsung diberi sanksi pemberhentian tidak hormat.
Background yang bukan dari hukum seperti Enterpreneur (CEO) menjadi wajar dimaklumi bahwa pengetahuan ketatanegaraannya kacau balau. Stafsus Presiden bukan termasuk golongan kaum menteri yang meskipun Stafsus juga memiliki akses untuk koordinasi langsung dengan Presiden, hal itu dapat ditelusuri dari sudut pandang perangkat hukumnya saja sudah berbeda karena tidak termasuk di Undang – Undang Tentang Kementerian Negara.
Jika ditinjau dari UU KPK subjek penyelenggara negara memang tidak termasuk Stafsus, karena penyelenggara negara itu sudah dirinci di Undang – Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dimulai dari Presiden, Mentri, Lembaga Negara, Kepala Daerah, Pejabat Eselon 1, BUMN, Jaksa, Penyidik, Penegak Hukum dll.
Tetapi memang karena pertimbangan Stafsus di gaji dari negara maka KPK meminta laporan harta kekayaannya. Maka demikian tindak pidana korupsi itu harus ada unsur kerugian negara, kalau pun bukan kerugian negara pintu masuknya adalah tindak pidana suap.
Kembali lagi bahwa yang paling memungkinkan saat ini ya diberi sanksi administratif mulai dari teguran ringan sampai dengan teguran keras bahkan pemecatan tergantung dampaknya.
Begitu pula mengenai potensi adanya memperdagangkan pengaruh (trading in influence) ini juga belum bisa diterapkan terhadap Stafsus, karena perkara Irman Gusman sebagai penyelenggara negara di putusan tingkat pertama dengan dakwaan memperdagangkan pengaruh sudah dikoreksi putusan PK MA. Sehingga dengan ratifikasi internasional UNCAC ada pedoman yang mengharuskan dibuat ketentuan Undang – Undang Khusus sebagai hukum positif dalam menerapkan trading in influence.
Jadi, UNCAC saja yang sudah diratifikasi belum berlaku secara mutatis mutandis atas norma trading in influence tetapi Pembentuk Undang – Undang harus membuat Undang – Undang Khusus dan sekarang ini belum ada Undang – Undangnya tentang Trading in Influence.