Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi XI DPR, Amin Ak, meminta penguatan perlindungan terhadap dana dan data pribadi nasabah perbankan menyusul terungkapnya kasus penipuan keuangan yang memanfaatkan sistem pembayaran BI-FAST dengan nilai kerugian yang diperkirakan mencapai Rp200 miliar.
Kasus tersebut diduga melibatkan jaringan kriminal terorganisir dan berujung pada praktik pencucian uang melalui aset kripto.
Amin menilai peristiwa ini menjadi sinyal penting bahwa percepatan digitalisasi sektor keuangan harus dibarengi dengan sistem pengamanan yang memadai.
Menurutnya, kemudahan transaksi tidak boleh mengorbankan aspek keamanan yang menjadi hak dasar masyarakat sebagai nasabah bank.
“Transformasi digital memang memudahkan transaksi, tetapi negara wajib memastikan sistem itu tidak disalahgunakan. Masyarakat harus merasa aman menyimpan uang dan data pribadinya di bank,” ujar Amin dalam keterangan persnya, Rabu (17/12/2025).
Ia menjelaskan, kejahatan yang memanfaatkan BI-FAST tidak lagi bersifat insidental, melainkan sudah terstruktur dan dijalankan secara sistematis.
Modus kejahatan umumnya diawali dengan penipuan digital terhadap korban, kemudian dana dipindahkan dengan cepat ke sejumlah rekening penampung melalui BI-FAST sebelum akhirnya dikonversi ke aset kripto untuk menyamarkan jejak transaksi.
Menurut Amin, karakter BI-FAST yang beroperasi secara real-time dan tanpa batas waktu, membuat dana korban dapat berpindah lintas bank dalam hitungan menit. Kondisi ini kerap menyulitkan upaya pemblokiran dana jika tidak didukung sistem pengawasan yang responsif dan berbasis risiko.
“Ketika transaksi bisa dilakukan 24 jam, sementara pengawasan masih konvensional, celah kejahatan terbuka lebar. Ini yang harus segera dibenahi,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa perlindungan nasabah harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan sistem pembayaran nasional.
Amin mendorong regulator dan industri perbankan untuk memperkuat mekanisme pengamanan adaptif yang mampu mendeteksi transaksi mencurigakan sejak dini.
Ia juga menilai pentingnya kolaborasi yang lebih erat antara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta penyelenggara perdagangan aset kripto. Sinergi antar-lembaga dinilai krusial untuk mencegah praktik pencucian uang yang memanfaatkan celah antar sektor pengawasan.
“Tidak cukup hanya mengejar kecepatan transaksi. Sistem keuangan harus dirancang agar mampu melindungi masyarakat dari risiko kejahatan digital yang semakin kompleks,” katanya.
Selain penguatan sistem, Ia meminta penegakan hukum dilakukan secara tegas terhadap pelaku penipuan dan jaringan pencucian uang. Langkah ini penting tidak hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap industri perbankan dan sistem keuangan nasional.
“Sistem keuangan harus benar-benar berpihak pada masyarakat. Uang dan data pribadi warga negara harus terlindungi, bukan justru menjadi korban dari kemajuan teknologi,” pungkasnya.
