Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya menghentikan perkara yang menjerat Firli Bahuri. Pasalnya, Kepolisian tidak punya bukti cukup untuk memperkarakan bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
“Demi kepastian hukum, hendaknya dikembalikan kepada mekanisme Pasal 109 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa perkara yang sudah berulang-ulang dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka, tetapi belum layak karena hasil penyidikan belum lengkap, maka dapat dikategorikan tidak cukup bukti,” kata Suparji dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/2/2024).
Firli Bahuri, Ketua KPK periode 2019-2023, ditersangkakan Polda Metro Jaya atas tuduhan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo, bekas Menteri Pertanian. Kepolisian memeriksa Firli sebanyak empat kali. Namun berkas perkara Firli tiga kali dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada penyidik Polda Metro Jaya.
Suparji menjelaskan, sesuai pasal 110 dan pasal 138 (1) KUHAP, berkas tersebut dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk untuk menyempurnakan hasil penyidikan.
Firli dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 9 Oktober 2023. Lantas polisi mengeluarkan surat perintah penyidikan pada hari itu juga. Polisi memeriksa 90 saksi dan empat kali memeriksa Firli.
Namun seluruh hasil penyidikan itu dikembalikan oleh Kejati DKI. Kejaksaan beralasan berkas tidak lengkap. Mereka melengkapi penolakan itu dengan petunjuk agar kepolisian menyempurnakan penyidikan dengan beberapa hal yang belum terpenuhi.
Suparji mengatakan kepolisian telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap suatu perkara yang tidak cukup bukti, kata Suparji, seharusnya kepolisian menghentikan perkara ini.
“Pemeriksaan dalam rangka menemukan alat bukti untuk membuat terang benderang perkara harus sesuai dengan fakta dan dilakukan secara profesional serta terbebas dari conflict of interest,” tegas Suparji.
Suparji juga mengingatkan kepolisian untuk berpegang pada asas kepastian hukum yang menjadi keniscayaan pada sebuah negara hukum. Penegakan hukum, kata dia, harus mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap tindakan hukum termasuk penyidikan.
“Asas kepastian hukum mensyaratkan adanya kesesuaian dan keajegan, dan keadilan baik secara prosedural maupun subtansi antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang,” kata Suparji.
(Bie)