JurnalBabel.com – Kuasa Hukum PPK dari 5 Kecamatan di Kabupaten Banjar, Yusuf Ramadan menduga data hasil C yang dijadikan alat bukti pihak Denny Indrayana pada persidangan di Bawaslu Kalsel palsu. Karena pihak Denny Indrayana tidak mempunyai data hasil C yang asli.
“Kami menduga, data hasil C yang digunakan sebagai alat bukti pada persidangan di Bawaslu Kalsel palsu. Karena mereka tidak mempunyai data hasil C,” ungkap Yusuf Ramadan seperti dilansir dari koranbanjar.net, Kamis (21/3/2024).
Yusuf Ramadan menambahkan keterangan saksi Pelapor pun inkonsisten dikarenakan data yang disajikan dalam laporan Pelapor berbeda dengan yang disampaikan Saksi Pelapor di saat persidangan.
Di lain sisi berdasarkan PKPU 5 Tahun 2024 Tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dan Penetapan Hasil Pemilihan Umun mengatur bahwa yang dapat diberikan data hasil C maupun D adalah saksi yang berada pada saat hari rekapitulasi berlangsung.
Sedangkan kesaksian dari saksi terlapor yang merupakan saksi mandat dari Partai Demokrat memastikan bahwa saksi Partai Demokrat hampir di semua TPS tidak ada/hadir. Sehingga indikasi dugaan kepalsuan Data Hasil C semakin menguat.
Pada sidang sebelumnya Yusuf mensinyalir, sidang yang digelar Bawaslu Banjar cacat formil dan materil.
Menurut dia, dari persidangan awal sangat kuat landasannya yakni dalam Laporan Nomor 001/LP/PL/Kab/22.04/03/2024 yang diterima Bawaslu Kabupaten Banjar dengan pelapor Hairul Patarujali, dalam hal ini sama sekali tidak menjelaskan hubungan antara kepentingan pelapor dengan pokok perkara yang dilaporkan.
“Dengan kata lain tidak ada sangkut paut antara kepentingan pelapor dengan pokok perkara yang dilaporkan atau tidak memenuhi legal standing sebagai pelapor,” ujar Yusuf.
Kendati berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Perbawaslu 7/2022 kategori Pelapor adalah salah satunya WNI, sambungnya, namun tidak semua jenis dugaan pelanggaran pemilu yang dapat dikategorikan sama (dalam hal kedudukan pelapor).
Hal ini selaras dengan putusan pelanggaran administrasi yang disadur pelapor, putusan Bawaslu RI Nomor : 047/LP/PL/ADM/RI/00.00/V/2019, dalam putusan tersebut pelapor berkedudukan sebagai pihak yang dirugikan yakni, salah satu Caleg DPRD Provinsi yang memberikan kuasa kepada Kantor Hukum. Sehingga pelapor dalam laporan a quo tidak memiliki legal standing/tidak memiliki kepentingan langsung atas peristiwa yang dilaporkan.
Selain dari sisi formil, aspek materil pun cacat, kata Yusuf. “Syarat materil laporan dalam 15 ayat (4) Perbawaslu 7 Tahun 2022 adalah : waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran pemilu, uraian kejadian dan bukti. Bahwa ketentuan dimaksud diatur secara komulatif, artinya ketiga unsur syarat materil tersebut harus dipenuhi secara bersamaan, namun dalam laporan a quo, pelapor tidak dapat menguraikan kejadian dugaan pelanggaran dimaksud secara spesifik.
Yusuf menambahkan, pelapor hanya mendalilkan adanya ketidaksesuaian antara C Hasil DPR dengan D Hasil Kecamatan DPR. Pelapor tidak menguraikan kronologis tata cara, prosedur, atau mekanisme apa yang dilanggar para terlapor. Sehingga terjadi perubahan perolehan suara tersebut sebagaimana dalil pelapor.
“Secara spesifik Pasal 1 angka 32 Perbawaslu 8 Tahun 2022 memberikan pengertian bahwa Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan,” tambahnya.
Kemudian, mengacu pada PKPU 5 Tahun 2024, utamanya pada ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 25 yang mengatur tata cara, prosedur, atau mekanisme Rekapitulasi Tingkat Kecamatan, dalam Laporan a quo sama sekali tidak ada satu pun dalil pelapor yang mengarah pada perbuatan para terlapor melanggar ketentuan Pasal dimaksud.
Membantah
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum Denny Indrayana, Raziv Barokah, usai mengikuti Sidang Pemeriksaan Dugaan Pelanggaran Administrasi Pemilu di kantor Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan, di Banjarmasin Rabu (20/3/2024) dengan tegas membantah tuduhan ini.
Menurutnya yang mengawasi suara rakyat adalah rakyat itu sendiri. Oleh karena itu rakyat diberi kesempatan untuk mendokumentasikan hasil C.
“Bisa diakses publik, bahkan bisa diupload pada Sirekap. Jadi di manapun C1 itu berada bisa diambil siapapun,” ujar Raziv.
Sehingga dikatakan, menjadi pemikiran keliru ketika ada yang mengatakan bahwa C hasil yang berlaku adalah C hasil yang ditandatangani saksi dengan tanda tangan basah. Jika seperti itu lanjutnya, sistem pemilu kita bukan terbuka jadinya.
Apabila proses pemilu dijalankan secara terbuka, maka hukum pemilunya juga dibuat akses kepada publik untuk mendapatkan dokumen-dokumen itu.
“Apa yang kita lakukan di sini sudah sah secara hukum, ada dasar hukumnya,” aku Raziv.
Dirinya juga meyakinkan jika pihaknya adalah orang-orang yang memiliki integritas tinggi tak mungkin berbuat apa yang sudah dituduhkan.
“Nama kantor kami adalah Integrity. Artinya integritas itu sama sekali tidak boleh kami tinggalkan setiap kami menangani perkara,” akunya.
Ditengah carut-marutnya kondisi hukum saat ini, kata Raziv orang-orang di bawah naungan Integrity Law tetap bertahan dengan integritas tersebut.
“Jangankan memanipulasi bukti, kami bertemu pengadil saja di luar persidangan kami tidak mau,” tepisnya.
Dikatakan, sangat jauh sekali jika menuduh hal yang kami lakukan sifatnya manipulatif.
Adapun terkait hasil sidang, Raziv menilai pihak terlapor belum berani menunjukan data hasil C1.
Menurutnya kalau data tersebut tidak dimunculkan oleh pihak terlapor maka pihaknya semakin yakin bahwa benar terjadi penggelembungan suara yang terjadi di 5 Kecamatan itu.
“Kami berharap dan percaya majelis hakim memberikan penilaian yang objektif,” harapnya.