Jakarta, JurnalBabel – Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, merasa sangat berdosa dengan masyarakat di Morowali. Pasalnya, apa yang dilakukannya selama ini dalam memperjuangkan lahan transmigrasi yang didiami warganya hingga kini belum membuahkan hasil.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Senin 11 Juni 2021, merujuk pada pernyataannya dalam rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Sofyan A Djalil kemarin, ia mengingatkan komitmen Presiden Joko Widodo soal transmigrasi.
“Kita mau bela yang mana? Bela yang kaya atau membela masyarakat? Mereka (transmigran) itu orang susah kemudian dipindahkan supaya taraf hidupnya bisa lebih baik. Tapi kalau mereka ditelantarkan, Negara ada dimana? Padahal Pak Presiden selalu bilang, Negara harus hadir ditengah-tengah masyarakat,” tegas Anwar Hafid.
Mantan Bupati Morowali itu mengungkapkan, dirinya sudah lama memperjuangkan transmigran di Morowali agar mendapatkan hak-haknya. Soal lahan transmigran yang diambil salah satu perusahaan itu bahkan pernah disampaikan kepada Pemerintah Pusat.
Saat menjabat sebagai kepala daerah, dirinya secara resmi juga sudah menyampaikan surat ke Badan Pertanahan Negara (BPN). Dimana isinya meminta agar lahan yang didiami transmigran dilakukan enclave atau tidak dimasukan dalam surat ukur. Disertakan dalam surat itu berbagai dokumen pendukung agar lahan transmigran dilakukan enclave.
“Tetapi (setelah) surat saya itu, terbit HGU, semua lahan transmigrasi masuk dalam HGU perusahaan, PT Citra. Jadi surat kami itu tidak ada manfaatnya,” jelasnya.
Dengan terbitnya sertifikat hak guna usaha (HGU) PT Cahaya Idola Tunggal Rona Alam (CITRA), masyarakat yang mendiami lahan miliknya tanpa sertifikat. Ia menyayangkan warganya yang mengharapkan peningkatan taraf hidup dengan mengikuti program transmigrasi, namun saat ini justru terlunta-lunta.
“Bayangkan, masyarakat hari ini tidak punya sertifikat. Ini, saya minta ke fraksi saya dibawa ke Komisi II karena ini pak, ini dosa bagi saya. Kenapa dosa? Karena saya yang mendatangkan transmigran itu yang sampai hari ini mereka belum memiliki sertifikat,” katanya.
“Datang perusahaan, mereka (transmigran) tidak tahu pak, saya punya HGU, maka lahan transmigrasi, lahan kebun, ditanami sawit, tidak bisa berkutik,” sambungnya.
Masih dari Morowali, Anwar Hafid mengungkapkan kasus sengketa lahan dengan PTPN XIV, tepatnya di Morowali Utara. Lahan milik masyarakat yang sudah dikelola bertahun-tahun, baik dalam bentuk persawahan, perkebunan bahkan sampai pemukiman, tiba-tiba keluar HGU. Ia meminta Menteri Sofyan Djalil mengambil tindakan tegas dan memberlakukan status quo atas permasalahan lahan yang dihadapi masyarakat.
Pemegang sertifikat HGU, lanjut Anwar Hafid, bisa dengan mudahnya memperoleh pengakuan. Bahkan, pemegang GHU bisa menggunakan segala kekuatan negara untuk mengusir masyarakat. Menteri Sofyan Djalil diajaknya untuk mengecek langsung kondisi masyarakat saat ini di Morowali Utara dan mengambil keputusan tegas.
“Kalau Pak Menteri punya keberanian, besar saya kira dicek, diperintahkan bahwa lokasi ini sementara dalam penyelesaian di kementerian, agar semua aktifitas perusahaan tidak dilakukan, rakyat sudah puas itu pak. Daripada mereka setiap hari disitu, melihat, apalagi ini lahan transmigrasi. Kasihan mereka,” kata dia.
Pentingnya Menteri ATR/BPN meninjau langsung perlu dilakukan, karena belakangan kepala daerah setempat mengalah dengan pihak perusahaan. Yakni dengan mencarikan lahan baru sebagai pengganti lahan yang didiami transmigran sekarang.
“Bagaimana ini kira-kira, ini swasta, transmigrasi ini perintah Undang-Undang, perintah Negara, mereka hadir disana dalam rangka pengentasan kemiskinan. Mereka meninggalkan kampungnya, datang mencari hidup tapi kemudian mereka terlantar. Saya yang merasa berdosa, karena saya yang menandatangani lahan itu untuk transmigrasi,” ucap Anwar.
Mendapati pernyataan Anwar Hafid, Menteri Sofyan A Djalil mengaku sedih. Ia berjanji akan menindak lanjuti di lapangan. Sofyan mengatakan jika para transmigran itu menempati kawasan hak pengguna lain (HPL), maka sertifikat HGU yang diterbitkan tidak sah dan dapat dipidana.
“Sedih sekali kasus yang bapak ceritakan,” ucapnya.
Menteri Sofyan menjelaskan Presiden Joko Widodo menetapkan program tanah reforma agraria (Tora) seluas sembilan juta hektare. Program itu berdasarkan skema RA RPJMN 2015-2019 dan tetap dilanjutkan pada RPJM 2020-2024.
Tora terbagi dalam dua program yakni legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare dan redistribusi tanah 4,5 juta hektare. Hingga 30 Januari 2021, Tora legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare telah dilakukan untuk tanah transmigrasi yakni sertifikasi hak milik tanah transmigrasi dengan target 0,6 juta hektar, telah tercapai 168.819 bidang seluas 113.109 hektare atau 18,85 persen. (Bie)