Ditulis oleh:
Kamaratih Aprilia
Mahasiswa Program Studi Magister Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), Institut Pertanian Bogor (IPB)
Kenaikan jumlah penduduk tiap tahunnya menjadi tantangan yang dihadapi oleh seluruh penduduk dunia. Untuk memenuhi kebutuhan pangan di tengah peningkatan jumlah penduduk dunia tentu saja kita harus mulai melakukan mapping mengenai factor-faktor yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Sayangnya, ternyata kita tidak hanya menghadapi satu jenis tantangan, melainkan tantangan yang cukup kompleks.
Apa saja tantangan tersebut? Mari kita bahas satu persatu. Tantangan datang dari factor iklim, factor makin tingginya harga bahan pokok, dan lainnya. Berbagai factor dan tantangan tersebut perlu untuk ditangani melalui sistem pangan yang memadai dan bisa diaplikasikan oleh siapa saja secara luas.
Secara lebih lanjut, tulisan ini akan menguraikan tantangan tersebut dan akan membahas mengenai sistem pangan yang bisa dicoba untuk diterapkan di Indonesia secara mandiri dan sederhana, sehingga kita semua bisa mulai mencobanya.
Perubahan iklim diketahui merupakan salah satu factor penting yang mempengaruhi produksi pangan. Kenaikan suhu yang diperkirakan mencapai 1oC – 1.5oC selama 50 tahun terakhir berpengaruh pada perubahan kelembapan lahan pertanian. Bahkan secara lebih lanjut, terdapat penelitian yang menyatakan bahwa kenaikan temperature menekan jumlah hasil panen.
Menariknya, terdapat penelitian yang juga melibatkan 19 negara dengan 6 regional diantaranya memiliki hasil bahwa, kenaikan suhu pada jangka panjang berakibat pada keanekaragaman pangan yang rendah, sedangkan saat curah hujan tinggi, maka keanekaragaman makanan akan lebih tinggi. Selain itu, tingkat kekeringan maupun curah hujan yang tinggi/parah juga berpengaruh dengan gizi anak dan menyebabkan stunting maupun rendahnya bobot bayi baru lahir.
Tentu kita tidak mau hal tersebut terjadi pada anak cucu kita kan? Untuk menjawab tantangan tersebut, terdapat solusi sederhana yang sudah dirumuskan. Terdapat seruan untuk melakukan diet flexitarian, yaitu diet yang menganjurkan untuk lebih mengonsumsi pangan nabati. Meski demikian, pola diet tersebut juga masih membolehkan konsumsi pangan hewani dalam jumlah sedang.
Contohnya adalah dengan mengonsumsi 1 porsi susu perhari, 1 porsi daging unggas, iklan, telur, atau daging per hari (dengan anjuran daging merah 1 minggu sekali). Melihat pola anjuran tersebut, seharusnya masih bisa untuk diaplikasikan secara mandiri bukan? Namun sayangnya, meski sudah terdapat panduan dan anjuran yang dirumuskan, sebagian besar populasi dunia belum mengikuti pedoman tersebut.
Hal tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan pangan dan kemampuan pemenuhan pangan secara global. Sehingga dampaknya, masyarakat dengan kemampuan daya beli lebih rendah akan makin sulit mengakses makanan, khususnya makanan sehat. Oleh karena itu, kita juga membutuhkan solusi dari segi produksi pangan, yaitu manusia dapat menyesuaikan diri melalui pemilihan kultivar, waktu penanaman, dan aplikasi pengairan pertaniannya.
Menimbang berbagai keadaan dan solusi di atas, maka hal yang dapat mulai diterapkan di Indonesia adalah pertanian perkotaan/urban farming/urban agriculture. Pertanian perkotaan/urban farming adalah setiap bentuk usaha yang berkaitan dengan produksi, distribusi, serta konsumsi dari bahan pangan atau hasil pertanian yang dilakukan di lingkungan perkotaan. Urban farming berpotensi dapat menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup banyak.
Terdapat contoh menarik, yaitu pada Perang Dunia Ke-2, produksi urban farming dapat memenuhi 40% dari kebutuhan sayuran United States. Salah satu pertanian kota/urban farming yang bisa dilakukan adalah melalui budidaya secara vertikultur. Vertikultur dapat diartikan sebagai teknik budidaya tanaman secara vertikal sehingga penanaman dilakukan secara bertingkat baik di indoor maupun outdoor.
Terdapat beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum memulai vertikultur, yaitu pengetahun mengenai media tanam, pemilihan tanaman, dan pemeliharaannya. Budidaya vertikultur tersebut membutuhkan media tanam seperti pada umumnya proses penanaman secara non-vertikultur, seperti tanah, pupuk kompos, dan sekam dengan perbangingan 1:1:1. Campuran media tersebut kemudian dimasukan ke dalam bambu/paralon/botol bekas hingga bisa penuh. Setelah mempersiapkan media, maka pengetahuan selanjutnya yang diperlukan adalah mengenai pemilihan tanaman.
Untuk metode penananaman vertikultur, terdapat beberapa jenis tanaman yang cocok ditanam, yaitu tanaman semusim, tanaman sayuran, tanaman hias, maupun tanaman obat. Pemilihan tanaman semusim dianggap lebih baik karena memiliki sistem perakaran serabut, Sehingga tidak butuh ruang yang luas. Contoh tanamannya adalah caisim, selada, kangkong, pakchoi, daun bawang, dan bayam. Jika ingin menanam tanaman dengan akar tunggang, maka pastikan ujung akar dipotong supaya pertumbuhan akar tidak terlalu panjang dan hemat ruang.
Contoh tanaman akar tunggang yang bisa ditanam secara vertikultur yaitu cabai, tomat, dan terung. Kemudian untuk tanaaman yang berumbi, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan ukuran umbinya. Tanaman berumbi yang cocok untuk ditanam secara vertikultur adalah tanaman berumbi kecil seperti jahe, kencur, dan kunir. Sementara untuk perawatan dan pemeliharaan tanaman dengan metode vertikultur tidak berbeda jauh dengan penanaman non-vertikultur, yaitu perlu memastikan bahwa tanaman bebas serangan hama dan penyakit.
Dimulainya penanaman secara vertikultur diharapkan mampu menjadi langkah awal dalam pemenuhan kebutuhan pangan, setidaknya dimulai dari diri sendiri. Sebenarnya, jika penanaman dengan vertikultur digarap secara serius, maka diyakini dapat menjadi solusi dan langkah solid dalam produksi pangan, apalagi di tengah kondisi lahan yang semakin sempit.