Upaya untuk menghidupkan kembali kejayaan partai Masyumi sebagai upaya mewujudkan gagasan partai Islam tunggal merupakan hak konstitusional dan hak politik warga negara untuk berserikat dan berkumpul.
Gagasan tersebut sangat ideal dan menjanjikan sebuah harapan. Gagasan “Masyumi Reborn” nampaknya dilatarbelakangi oleh kejayaan masa lalu, dimana Partai Masyumi pernah menjadi partai terbesar kedua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) pada pemilu 1955.
Namun untuk mewujudkan kejayaan Masyumi di masa kini tentu tidak mudah. Apalagi menjadikan Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai islam, akan menghadapi berbagai tantangan berat, terutama menghadapi sindrom tumbuhnya partai politik di tengah euforia demokrasi yang membuka ruang bagi siapapun termasuk tokoh-tokoh islam untuk mendirikan partai politik.
Karena itu, upaya untuk mewujudkan Partai Masyumi sebagai wadah tunggal umat islam diperlukan kerja keras dan waktu yang sangat panjang untuk menyatukan visi, kesamaan pandangan, dan satu kesamaan kepentingan umat islam.
Gagasan tersebut bisa diakselerasi jika ada momentum yang dapat membuat tokoh dan pemimpin umat islam bersatu. Tapi sekali lagi, langkah tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Mengembalikan kejayaan Masyumi di masa lalu tidak bisa hanya dengan cara “copy paste”. Pasalnya, zaman sudah berubah, dinamika politik sudah berubah, cara pandang masyarakat telah mengalami pergeseran. Di tengah liberalisasi dan perkembangan teknologi saat ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi sebuah partai yang hanya “menjual” ideologi.
Meski terkesan berlebihan, ramalan Daniel Bell dalam bukunya “The end of Ideologies” patut menjadi bahan renungan. Ia berpendapat bahwa ideologi politik semakin tidak relevan di antara orang-orang “masuk akal”, dan bahwa pemerintahan masa depan akan didorong oleh penyesuaian teknologi sedikit demi sedikit dari sistem yang ada.
Meski ramalan Daniel tidak seluruhnya menjadi kenyataan tetapi bisa menjadi bahan evaluasi bagi partai politik masa kini yang masih mengabadikan ideologi masa lalu agar tetap eksis dalam menghadapi tantangan saat ini dan akan datang.
Terkait dengan wacana “Masyumi Reborn” atau menghadirkan kembali Partai Masyumi sejatinya bukan hal baru. Pada pemilihan umum tahun 1999 sudah ada partai yang menggunakan nama Masyumi Baru. Partai ini gagal memperoleh kursi di parlemen karena hanya mendapatkan suara sebanyak 152.589 suara atau 0,14%. Partai ini sama sekali tidak mendapatkan kursi di DPR.
Karyono Wibowo (Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute)