Jakarta, JurnalBabel.com – Wacana Pemilu 2024 diundur hingga tahun 2027 menimbulkan polemik di tengah publik. Ide ini dinilai menabrak pilar demokrasi melalui instrumen pemilu.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menilai wacana Pemilu 2024 mundur ke tahun 2027 secara esensial menabrak pilar demokrasi yang dituangkan melalui pemilu.
“Esensi pemilu di antaranya untuk sirkulasi kepemimpinan secara teratur dan ajeg (fixed term). Memundurkan Pemilu tahun 2024 menjadi tahun 2027 jelas menabrak prinsip itu,” tegas Tholabi di Jakarta, Jumat (20/8/2021).
Menurut pengajar Hukum Tata Negara (HTN) ini, masa jabatan presiden/wakil presiden serta anggota DPR telah teratur dan ajeg yakni selama lima tahun.
Tholabi menekankan jika pemilu dimundurkan maka akan mengubah masa jabatan presiden/wakil presiden termasuk anggota DPR.
“Padahal pemilu itu merupakan mekanisme rakyat untuk mengoreksi pilihannya di pemilu sebelumnya,” cetus Tholabi.
Apalagi, kata Tholabi, dalam konstitusi telah jelas disebutkan masa jabatan presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
“Pasal 7 UUD 1945 sangat jelas menyebutkan tentang masa jabatan Presiden/Wapres lima tahun,” sebut Tholabi.
Jika persoalan pandemi dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan pemilu, Tholabi menyarankan penyelenggara pemilu mulai dari sekarang membuat skenario pelaksanaan pemilu di masa pandemi.
“Pemanfaatan platform digital yang akuntabel dapat dijadikan salah satu alternatif dalam tahapan pemilu di masa pandemi,” saran Tholabi.
Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Se-Indonesia ini menambahkan ide penundaan pemilu sama saja mengancam partisipasi Gen-Z yang telah memiliki hak suara di Pemilu 2024.
“Jika skenarionya pemilu mundur, maka sama saja akan menunda partisipasi generasi Z yang lahir tahun 2007 untuk berpartisipasi di Pemilu 2024,” ingat Tholabi. (Bie)