Jakarta, JurnalBabel.com – Sejak Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi menginstruksikan seluruh jajaran Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri untuk tidak menggelar operasi penindakan tilang pengendara secara manual, maka yang terjadi justru polisi lalu lintas (Polantas) sulit ditemukan di jalanan ibukota.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh, memberikan beberapa catatan atas instruksi Kapolri tersebut.
Pertama, kata dia, harus diakui instruksi Kapolri untuk menghentikan penindakan pelanggaran secara manual bagi pengendara bermotor merupakan terobosan baru dibidang penindakan hukum, agar hukum berjalan lebih efektif tetapi tetap optimal.
“Khususnya dalam upaya menghindari upaya terjadinya pungutan liar dari oknum-oknum Polantas nakal,” kata Khairul Saleh dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/10/2022).
Kedua, Khairul Saleh mendukung Instruksi ini karena instruksi ini tidak lepas dari terobosan Kapolri untuk menaikkan kembali citra kepolisian yang terpuruk di masyarakat akhir-akhir ini.
“Melalui Instruksi Kapolri ini, maka berarti temu muka oknum polantas dengan pelanggar lalu-lintas yang ditengarai tidak luput dari adanya transaksi pungutan liar melalui tilang manual tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Ketiga, ia menilai tentunya instruksi Kapolri berupa larangan menggelar tilang secara manual yang dituangkan dalam surat telegram Nomor: ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022, per tanggal 18 Oktober 2022, bukan hanya dan dimaknai untuk mengosongkan jalanan dari kehadiran Polisi Lalu Lintas (Polantas), karena persoalan penindakan hukum bagi pelanggar bermotor tidak lagi dilakukan secara manual (penindakan dan razia), tetapi melalui kamera Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).
“Karena tentunya masih ada banyak tugas Polantas di jalan raya,” kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Keempat, mantan Bupati Banjar ini yakin bahwa instruksi Kapolri dengan meniadakan penindakan hukum secara manual ini tidak ditujukan semata untuk menghilangkan titik rawan persoalan pungutan liar di jalanan saja, tetapi juga tetap mengedepankan substansi penegakkan hukum di masyarakat, khususnya di jalan raya berjalan dengan efektif dan optimal.
“Artinya, opsi penegakkan hukum itu bukan saja secara Justitia dengan ditilang saja, atau sekarang dengan ETLE, tetapi juga secara Non Justitia,” jelasnya.
Menurutnya, langkah penegakkan hukum secara Non Justitia juga penting dilakukan, misalnya memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan perundang undangan demi perlindungan dan keselamatan masyarakat sendiri.
“Selain edukasi, harus diingat pula bahwa memberikan teguran kepada pelanggar lalu lintas itu merupakan wujud dari penindakan hukum non justitia juga. Dan ini pastinya akan memberi manfaat bagi terwujudnya tertib hukum di jalan raya,” ucapnya.
Kelima, ia berharap penegakkan hukum melalui ETLE baik statis maupun mobile wajib dioptimalkan. Penambahan perangkat lunak dan keras di bidang IT wajib juga ditingkatkan.
“Kami dari Komisi III DPR RI siap mendukung pemenuhan sarana dan prasarana kelengkapan basis teknologi informasi demi optimalisasi kinerja Polantas dalam memberikan rasa nyaman di masyarakat melakui terwujudnya tertib hukum dan tertib lalu lintas,” katanya. (Bie)