Jakarta, JURNALBABEL – Untuk mengatasi memanasnya situasi terkait respons Pilpres, pada 22—25 Mei 2019 pemerintah melakukan salah satu solusi dengan membatasi akses publik ke media sosial.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menuturkan, perlambatan akses unggah dan unduh gambar serta video dianggap berhasil mencegah tersebarnya kabar palsu. Namun demikian, tidak sedikit pihak yang merasa dirugikan dengan adanya pembatasan tersebut, terutama dari sisi bisnis.
“Pemblokiran itu seperti ingin menangkap tikus di lumbung, tetapi dengan cara membakar lumbungnya,” ujar Tulus di Jakarta, Senin (27/5/2019).
Menurutnya, pemblokiran membuat aktivitas pengguna medsos yang mencapai 172 jutaan tereduksi. Pembatasan itu juga melumpuhkan aktivitas digital ekonomi masyarakat yang tengah gandrung dengan belanja online atau daring. Nilai kerugian diperkirakan mencapai Rp628 miliar.
Pemblokiran bisa dikatakan melanggar hak-hak konsumen, seperti Pasal 28 huruf F Undang-Undang Dasar 1945, dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, aksi pemblokiran media sosial oleh pemerintah bisa dipahami mengingat kondisi yang mengganggu keamanan nasional dan negara.
Maraknya berita bohong (hoaks) dan berita fitnah sudah menjurus kepada aksi provokatif. Tingginya distribusi hoaks tak bisa dilepaskan oleh masih rendahnya literasi digital masyarakat.
“Akibat masih rendahnya literasi digital ini, masyarakat sulit dan malas membedakan mana berita faktual dan mana berita palsu, bohong alias hoaks,” imbuhnya.
Mengutip data PBB, literasi membaca buku masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia dengan skor 1:1.000. Artinya, dari seribu orang Indonesia yang aktif membaca buku hanya satu orang. Rendahnya literasi menyebabkan mayoritas masyarakat masih memercayai sebuah berita digital.
Ke depannya, sambung Tulus, masyarakat tentunya berharap aksi pemblokiran oleh pemerintah terhadap media sosial tidak akan terulang, karena kontra produktif dan menjadi preseden buruk.
Oleh karena itu, pemerintah harus secara jelas dan terukur membuat parameter tentang kondisi darurat, serta melakukan mitigasinya. Di sisi lain, sebagai upaya pencegahan, pemerintah dapat bekerja sama dengan penyedia layanan medsos untuk menangkal konten hoaks dan meresahkan keamanan.
Sementara itu, Pakar media sosial, Ismail Fahmi menyampaikan, kerja sama dengan penyedia layanan medsos tidak serta-merta dapat menangkal hoaks. Pasalnya, masing-masing perusahaan memiliki kebijakan tersendiri untuk melayani konsumen.
Twitter misalnya, mengambil kebijakan untuk tidak menggunakan sensor, kecuali masalah anak. Adapun, Facebook di tingkat internasional sudah menetapkan untuk bekerja sama dengan media setempat sebagai patner untuk verifikasi. Namun, verifikasi itu belum bisa dilakukan secara cepat.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, menilai hoaks yang tidak dikendalikan akan berpotensi memicu aksi massa dan kekerasan yang berdampak pada jatuhnya korban.
“Satu hoaks saja sudah cukup untuk memicu aksi massa yang berujung penghilangan nyawa, seperti salah satunya yang menimpa Mohammad Azam di India pada tahun 2018. Padahal, ada banyak hoaks sejenis itu lalu-lalang di Indonesia setiap hari, apalagi sekitar 22 Mei lalu,” ujar Rudiantara dalam keterangan resmi yang diterima, Senin (27/5/2019). (Joy)
Editor: Bobby