Jakarta, JurnalBabel.com – Kontroversi aturan ambang batas minimal pencalonan pasangan capres dan cawapres atau presidensial threshold (PT) kembali memanas. Sejumlah pihak pun menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka diantaranya adalah politikus Gerindra Ferry Juliantono dan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun serta 2 anggota DPD. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga ikut mengajukan gugatan tersebut.
Pasal yang di judicial review (JR) ke MK yakni Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Tercatat sudah ada 13 kali gugatan sebelumnya terkait Pasal 222 tersebut. Lima di antaranya tidak diterima karena masalah kedudukan hukum atau legal standing.
Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, menilai aturan PT tersebut sebenarnya tidak membatasi demokrasi.
“Sebenarnya 20% kursi dan 25% suara untuk presidential threshold itu tidak membatasi. Tetap saja memberikan pilihan baik kepada partai maupun kepada masyarakat siapa nanti yang akan dicoblos,” kata Zulfikar dikutip dari tvonenews.com, Sabtu (18/12/2021).
Menurut Zulfikar, melakukan upaya hukum melalui JR di MK lebih tepat jika dibandingkan hanya melontarkan kritik presidential threshold di ruang publik.
“Ke depan, kalau memang sudah ada undang-undang, lalu dia merasa dirugikan, datanglah ke Mahkamah Konstitusi, judicial review, jadi enggak perlu teriak-teriak atau bagaimana lah,” ujarnya.
Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan tidak ada agenda DPR untuk merevisi UU Pemilu dan memfasilitasi turunnya PT. Terlebih, revisi tersebut sudah dikeluarkan dari program legislasi nasional (prolegnas).
“Kalau sudah sepaham dan sepakat, kita hormati. Kalau memang nanti dalam perkembangannya lain, ya silakan saja (revisi),” ungkapnya.
Legislator asal Jawa Timur ini juga mengingatkan Pemilu Serentak 2024 semakin dekat, sehingga usulan terkait revisi UU Pemilu perlu dipikirkan secara matang.
“Sebenarnya banyak momen menuju 2024 itu. Belum lagi momen Pilkada, 2022 (ada) KTT G20, PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), menuntaskan program-program Jokowi-Ma’ruf, masih banyak,” pungkasnya. (Bie)